Jakarta, Nalar.ID – Penyandang gangguan kejiwaan merupakan bagian dari kelompok masyarakat disabilitas. Ini tertuang jelas dalam Undang Undang (UU) Nomor 19 Tahun 2011 tentang Penyandang Disabilitas, dan UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas dan Konvensi PBB tentang Hak-Hak Penyandang disabilitas (Convention on the Rights of Person with Disability/CRPD) yang diratifikasi Indonesia.
“Karena penyandang gangguan kejiwaan (disabilitas mental) dapat jaminan penuh atas hak-haknya. Ini sesuai Pasal CRPD dan UU Nomor 8 tentang Penyandang Disabilitas,” kata Ketua Perhimpunan Jiwa Sehat Indonesia, Yeni Rosa Damayanti, dalam diskusi di media center Gedung Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu), Jakarta Pusat, Sabtu (24/11).
Senada dengan Perhimpunan Jiwa Sehat Indonesia, Persatuan Penyandang Disabilitas Indonesia, dan Koalisi Nasional Organisasi Disabilitas, menegaskan, salah satu hak penyandang ini adalah berpartisipasi dalam kehidupan politik. Koalisi ini mendukung kebijakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang mendaftarkan penyandang disabilitas sebagai pemilih Pemilu 2019.
Dari diskusi tersebut, setidaknya, ada lima alasan mengapa penyandang disabilitas harus memiliki hak memilih.
Medis
Seorang pemilih tak ditentukan oleh diagnosis atau gejala penderita. Melainkan dari kemampuan kognitif (berpikir). Seperti penderita bipolar, skizofrenia, atau depresi berat, tak otomatis hilang kapasitas menentukan pilihan. Memang, penyandang disabilitas mental dengan disfungsi kognitif berat memengaruhi kemampuan kapasitas. Tapi, kata Yeni, fungsi kognitif tetap bisa ditingkatkan dengan pembelajaran dan pelatihan.
Historis
Larangan hak memilih penyandang ini tak sesuai perkembangan HAM secara internasional. Perkembangan HAM internasional, cenderung menjamin hak politik penyandang disabilitas. Termasuk penyandang disabilitas mental.
Tahun 1966, hak memilih dalam ICCPR (konvensi hak sipil dan politik) masih leluasa dibatasi. Tahun itu, hak memilih dibatasi tapi dilakukan ketat, yaitu dengan kriteria obyektif dan logis. Baru, tahun 2006, Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas, mengubah sifat batasan atau penggantian, jadi dukungan dalam pemenuhan hak penyandang disabilitas.
Pada 2013, Human Right Council, menyatakan, negara harus meninjau kembali bentuk pengucilan atau larangan terhadap hak politik penyandang disabilitas. Harus ambil tindakan yang layak. Termasuk legislasi, yakni mengubah atau menghilangkan regulasi, kebijakan tradisi, dan kebudayaan, yang melahirkan diskriminasi.
Filosofis
Penyandang ini memiliki hak asasi manusia setara sejak lahir. Yaitu hak politik, khususnya hak memilih. Dalam pemenuhannya, tak dapat dibatasi negara, kecuali putusan pengadilan atau UU. Hingga kini, tak ada putusan pengadilan dan UU melarang disabilitas mental menggunakan hak pilih.
Yuridis
Penyandang ini memiliki hak konstitusional yang sama. Hak yang melekat wajib dihormati, dilindungi, dan dipenuhi negara. Pasal 280 Ayat 1 UUD 1945 menyatakan, ‘Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum’. Ketentuan pasal itu melarang pembedaan perlakuan di hadapan hukum. Termasuk aturan mengenai hak memilih.
Sosiologis
Perkembangan masyarakat Indonesia pasca pengesahan UU Penyandang Disabilitas, telah menuju pembentukan lingkungan inklusif. Sejumlah kegiatan telah melibatkan penyandang ini. Penyandang disabilitas mental termasuk ragam penyandang disabilitas. Sehingga, segala sosialisasi dan interaksi dengan masyarakat secara umum ikut melibatkan penyandang disabilitas mental.
Penulis: Erha Randy | Editor: Ezar Radinka
Komentar