Nalar.ID

AS Lewat! 2028, Ekonomi China Nomor 1

Menjadi ekonomi terbesar dunia di tahun 2028, China melampaui posisi Amerika Serikat. Kejatuhan ekonomi dan pandemi Covid-19 membuat persaingan ini menguntungkan China.

Nalar.ID – Tidak ada yang mengira, ekonomi China berhasil bangkit dari keterpurukan. Pasalnya, negara ini kali pertama terpukul oleh dampak pandemi Covid-19. Hingga kuartal III tahun 2020, ekonomi negeri Tirai Bambu ini tumbuh mencapai 4,9 persen.

Capaian itu buah kerja keras dalam menangani pandemi. China juga dianggap telah berhasil mengelola penanganan Covid-19 dengan baik.

China juga berhasil menekan angka penularan pandemi dengan langkah yang tegas. Juga tidak perlu melakukan kebijakan isolasi wilayah secara ketat dalam waktu berulang seperti yang dilakukan negara-negara di Eropa. Sebagai hasilnya, tak seperti negara dengan ekonomi besar lain, China berhasil menghindari resesi ekonomi di tahun 2020.

Berdasarkan laporan Biro Statistik Nasional (NBS) China, produksi pabrik di China tumbuh pada laju tercepat dalam 20 bulan pada November 2020. Itu terjadi seiring kebangkitan kembali belanja konsumen. Serta pelonggaran bertahap pembatasan Covid-19 di mitra dagang utama yang meningkatkan permintaan untuk barang-barang manufaktur China.

Atas kemajuan itu, China diproyeksikan mengambil alih posisi Amerika Serikat (AS) sebagai ekonomi terbesar dunia tahun 2028. Atau lima tahun lebih awal dari perkiraan sebelumnya. Hal tersebut didasari kontrasnya pemulihan ekonomi kedua negara dari pandemi.

Pusat Penelitian Ekonomi dan Bisnis, atau lembaga riset asal Inggris, Centre for Economics and Business Research (CEBR), dalam laporan tahunannya melalui tema umum ekonomi global, menjadi perebutan ekonomi dan kekuatan lunak antara AS dan China.

Disebutkan, pandemi dan kejatuhan ekonomi yang terkait membuat persaingan ini menguntungkan China. Apa sebabnya?

“Manajemen pandemi yang terampil di China, dengan penguncian awal ketat, dan pukulan pada pertumbuhan jangka panjang di Barat, berarti kinerja ekonomi relatif China telah meningkat,” tulis CEBR, dalam laporannya, kepada Nalar.ID, dikutip Reuters, Sabtu (26/12/2020).

Siklus Ekonomi

Tampaknya, China menetapkan pertumbuhan ekonomi rata-rata 5,7 persen setahun dari 2021-25 sebelum melambat menjadi 4,5 persen setahun dari 2026-30.

Sementara AS, kemungkinan akan mengalami rebound pasca pandemi yang kuat di 2021. Pertumbuhannya akan melambat menjadi 1,9 persen per tahun antara 2022 dan 2024, dan menjadi 1,6 persen setelahnya.

Jepang juga akan tetap menjadi ekonomi terbesar ketiga di dunia, hingga awal 2030-an ketika akan diambil alih oleh India. Ini mendorong Jerman turun dari peringkat keempat menjadi kelima. Sementara Inggris, yang kini ekonomi terbesar kelima menurut ukuran CEBR, akan turun ke posisi keenam mulai tahun 2024.

Namun, meskipun terpukul di tahun 2021 karena keluarnya dari pasar tunggal Uni Eropa, PDB Inggris dalam dolar diperkirakan akan menjadi 23 persen lebih tinggi ketimbang Prancis pada 2035. Hal ini dibantu oleh kepemimpinan Inggris dalam ekonomi digital.

“Eropa menyumbang 19 persen dari output di 10 ekonomi global teratas tahun 2020. Namun itu akan turun jadi 12 persen tahun 2035, atau lebih rendah bila ada perpecahan sengit antara UE dan Inggris. Dampak pandemi pada ekonomi global kemungkinan akan muncul dalam inflasi lebih tinggi, bukan pertumbuhan yang lebih lambat,” tulis CEBR.

CEBR juga menyatakan bahwa pihaknya melihat siklus ekonomi dengan kenaikan suku bunga pertengahan 2020-an. Hal ini menimbulkan tantangan bagi pemerintah yang telah meminjam besar-besaran untuk mendanai tanggapan mereka terhadap krisis Covid-19.

Produksi Pabrik

Diperkirakan ekonomi negara itu akan tumbuh dua persen tahun 2020. Sementara perekonomian AS terpukul cukup parah oleh virus Covid-19.

Pasalnya, lebih dari 330 ribu orang tewas akibat pandemi dengan lebih dari 18,5 juta orang terkonfirmasi positif. Perekonomian negara terdampak telah dibantali oleh kebijakan moneter dan stimulus fiskal dalam ukuran cukup besar.

Meski begitu, terjadi kegaduhan politik terkait paket stimulus baru yang bisa menyebabkan sekitar 14 juta penduduk AS tak dapat uang jaminan pengangguran mereka pada 2021.

Laporan tersebut menyatakan, setelah terjadi rebound cukup kuat di 2021, ekonomi AS akan tumbuh sekitar 1,9 persen secara tahunan sepanjang 2022-2024. Serta akan kian melambat di kisaran 1,6 persen di tahun-tahun setelahnya. Sementara China akan tumbuh di kisaran 5,7 persen hingga 2025, dan tumbuh sekitar 4,5 persen di tahun 2026-2030.

Adapun, dalam laporan Biro Statistik Nasional (NBS) China, dilaporkan bahwa produksi pabrik di negara itu tumbuh pada laju tercepat dalam 20 bulan pada November 2020 lalu.

Ini terjadi seiring dengan kebangkitan kembali belanja konsumen dan pelonggaran bertahap pembatasan Covid-19 di mitra dagang utama yang meningkatkan permintaan untuk barang-barang manufaktur China.

Nampaknya, pemulihan ekonomi China akan dipercepat pada kuartal IV. Ini didorong oleh permintaan lebih kuat, pertumbuhan kredit, dan langkah-langkah stimulus yang diperkirakan menjadi penarik kuat hingga tahun 2021.

Nantinya, Jepang dan China menjadi kekuatan ekonomi Asia yang akan menggerakkan kebangkitan ekonomi kawasan seiring pandemi. Tren kebangkitan ekonomi seiring pulihnya konsumsi masyarakat dan peningkatan belanja publik, serta didorong oleh menguatnya laju ekspor.

Dalam Tabel Liga Ekonomi Dunia keluaran grup konsultan CEBR, dihitung bahwa China bisa menjadi ekonomi berpenghasilan tinggi segera pada 2023. India yang akan lebih lanjut memperkuat pertumbuhan ekonomi Asia akan naik ke peringkat ketiga sebagai ekonomi terbesar pada tahun 2030.

Sosialisme Modern

Presiden China Xi Jinping mengungkapkan pada Desember 2020 lalu bahwa sangat mungkin bagi ekonomi China naik berlipat ganda tahun 2035 di bawah Rencana Lima Tahun baru pemerintahnya.

“Yang bertujuan untuk mencapai sosialisme modern dalam 15 tahun. China adalah ekonomi pertama yang mengalami pukulan pandemi, tetapi telah pulih dengan cepat. Biasanya, kami membandingkan diri kami dengan ekonomi Barat lainnya dan sering melewatkan praktik terbaik. Terutama di ekonomi yang tumbuh pesat di Asia,” kata Presiden China Xi Jinping, dikutip Bloomberg, Minggu (27/12/2020).

Presiden Xi Jinping menuturkan, sejak awal pandemi menimpa, negaranya menempatkan kepentingan masyarakatnya di atas segalanya. Ini sebagai upaya keluar dari pandemi.

“Sejak menghadapi serangan pandemi di awal 2020 secara tiba-tiba, China menempatkan orang dan kehidupan di atas segalanya. Sebanyak 1,4 miliar orang China bersatu. Membuat pencapaian strategis besar dalam memerangi virus,” kata Presiden Xi Jinping, dalam acara APEC CEO Dialogues 2020, pada 19 November 2020.

Lanjutnya, ekonomi China kembali positif di kuartal III. Menurutnya, itu merupakan prestasi yang diperoleh dengan susah payah. “Itu membuktikan bahwa fundamental ekonomi yang menopang China ini stabil dan jangka panjang tetap tak berubah,” sambugnya.

Dalam tabel liga tahunan tentang prospek pertumbuhan di 193 negara, itu mengatakan China telah bangkit kembali dengan cepat dari efek Covid-19 dan akan tumbuh sebesar 2% pada tahun 2020, sebagai salah satu ekonomi global utama yang berkembang.

Meski begitu, standar hidup di China akan tetap jauh lebih rendah daripada di AS dan negara-negara Eropa Barat. Di AS, pendapatan per kapita rata-rata sedikit di atas  US$ 63.000, sedangkan di Inggris hanya di atas US$ 39.000.

Penulis: Febriansyah, Ceppy F. Bachtiar| Editor: Ceppy F. Bachtiar




 

Komentar

Ikuti Kami

Kami nalar, punya alasan informasi tak ditelan mentah. Mari, sama-sama bernalar.

Nalar.ID | Cerdas Menginspirasi