Jakarta, Nalar.ID – Sabtu, 9 Februari ini, diperingati Hari Pers Nasional. Banyak perkembangan terjadi di bidang jurnalisme dan media. Walau secara keseluruhan, situasi belum sepenuhnya menggembirakan dalam soal situasi kebebasan pers dan profesionalisme jurnalis dan media di Indonesia.
Merunut kebelakang, tahun 2018 mencatat, sejumlah peristiwa penting seiring mulainya perlombaan politik jelang Pemilihan Umum Presiden, Legislatif Daerah dan Nasional, pada 17 April 2019 mendatang.
Berdasarkan pernyataan tertulis Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia yang diterima Nalar.ID belum lama ini, Reporter Sans Frontiers atau Reporter Without Borders, organisasi pemantau media yang berbasis di Paris, tahun 2018 menempatkan Indonesia pada peringkat 124 dari 180 negara.
Dengan peringkat yang sama dengan tahun lalu itu, maka posisi Indonesia berada di papan bawah. Dengan posisi ini, Indonesia memang masih lebih baik dari Filipina yang berada di peringkat 13), Myanmar (137), Kamboja (142), Malaysia (145), Singapura (151), Brunei (153), Laos (170), dan Vietnam (175). Namun Indonesia masih berada di belakang Timor Leste yang ada di peringkat 93.
Aspek Kebebasan Pers
Dalam pemeringkatan yang dilakukan reporter Without Borders, ada tiga aspek yang menjadi tolak ukur dalam menilai kondisi kebebasan pers sebuah negara. Masing-masing: iklim hukum, iklim politik, dan iklim ekonomi.
Iklim hukum menyoroti aspek regulasi sebuah negara terhadap kebebasan pers. Sedangkan aspek politik menyoroti kebijakan yang berdampak terhadap kebebasan pers. Termasuk dalam bagian ini adalah kasus kekerasan terhadap jurnalis dan media. Iklim ekonomi menyorot lingkungan ekonomi negara yang berdampak pada kebebasan pers.
Indonesia dalam satu tahun terakhir ini, atau sepanjang 2018, menurut data statistik Bidang Advokasi AJI Indonesia, mencatat, setidaknya ada 64 kasus kekerasan terhadap jurnalis.
Peristiwa yang dikategorikan sebagai kekerasan itu meliputi pengusiran, kekerasan fisik, hingga pemidanaan terkait karya jurnalistik. Jumlah ini lebih banyak dari tahun lalu yang sebanyak 60 kasus dan masih tergolong di atas rata-rata. Kekerasan terhadap jurnalis paling banyak terjadi tahun 2016 lalu (sebanyak 81 kasus), paling rendah 39 kasus tahun 2009 silam.
Kekerasan fisik, berupa pemukulan, penamparan dan sejenisnya, masih menjadi jenis kekerasan terbanyak pada tahun 2018 ini. Berdasarkan data AJI, selama Januari – Desember 2018, kekerasan fisik terhadap jurnalis setidaknya ada 12 kasus.

Jenis kekerasan lainnya yang juga banyak adalah pengusiran atau pelarangan liputan dan ancaman teror, yang masing-masing sebanyak 11 kasus. Lainnya adalah perusakan alat dan atau hasil liputan (10 kasus), pemidanaan (8 kasus).
Dominasi jenis kekerasan fisik dalam kasus kekerasan terhadap jurnalis ini juga terjadi pada tahun 2017 dan 2016. Pada tahun 2017, jenis kekerasan fisik terdapat 30 kasus dari jumlah total 60 kasus. Tahun 2016 sebanyak 35 dari total 81 kasus kekerasan.
Persekusi Online
Namun, tahun 2018 mencatat jenis kasus kekerasan baru yang itu sepertinya bisa menjadi tren mengkhawatirkan di masa-masa mendatang, yaitu berupa pelacakan dan pembongkaran identitas jurnalis yang menulis berita atau komentar yang tak sesuai aspirasi politik pelaku, lalu menyebarkannya ke media sosial untuk tujuan negatif.
AJI mengkategorikan sebagai doxing, atau persekusi secara online. tahun 2018, setidaknya ada tiga kasus persekusi online yang menimpa jurnalis kumparan.com dan detik.com.
Jurnalis kumparan.com dipersekusi, antara lain karena tidak menyematkan kata ‘habib’ di depan nama Rizieq Shihab dalam beritanya. Jurnalis detik.com dipersekusi terkait berita tentang pernyataan Juru Bicara Persaudaraan Alumni 212 Novel Bamukmin dan saat meliput peristiwa yang disebut “Aksi Bela Tauhid” 2 November 2018.
Jurnalis kumparan.com, Kartika Prabarini, mendapat ancaman di akun instagramnya setelah medianya menerbitkan liputan khusus berjudul ‘Menjinakkan Rizieq’. Kartika adalah salah satu reporter dalam laporan khusus ini.
Pendukung Rizieq Shihab menilai laporan khusus yang dibuat kumparan.com itu tidak menghormati pemimpin mereka, termasuk di antaranya karena tidak menyematkan kata ‘habib’ pada nama Rizieq Shihab.
Akun @mastermeme.id, salah satu pendukung Rizieq Shihab, membongkar identitas Kartika di sosial media (doxing). Jurnalis perempuan ini pun mendapat ancaman dari pengikut akun @mastermeme.id, dirisak dengan komentar yang tidak pantas karena identitas gender dan penampilannya.
Tim Pengacara Aktivis dan Ulama pun sempat mengancam Kartika dan kumparan.com dengan melaporkan kasus itu ke Bareskrim Mabes Polri. Kasus ini berakhir setelah redaksi Kumparan meminta maaf. Jurnalis detik.com Gibran Maulana Ibrahim dipersekusi setelah memuat pernyataan Juru Bicara Persaudaraan Alumni 212, Novel Bamukmin.
Tokoh FPI ini dalam pernyataannya mengajak emak-emak pendukung Prabowo bila ingin masuk surga harus memilih Prabowo. Lengkapnya kutipan itu dimuat di detik.com; “Bu, mau masuk surga? Pinta sama Allah, pinta sama Rasulullah, pinta sama Prabowo, pinta sama Sandiaga Uno. Betul? Takbir. Insyaallah masuk surga,” kata Novel seperti dikutip dari detik.com.
Novel merasa dirugikan oleh kutipan itu karena kata “Cinta” menjadi “Pinta”. Menurut redaksi detik.com artikel tentang masuk surga Novel tersebut sesuai dengan isi rekaman yang diambil oleh jurnalisnya. Novel mengajukan hak jawab atas berita itu, namun doxing dan persekusi terhadap jurnalis detik.com itu tetap terjadi.
Kasus lain yang menimpa jurnalis detik.com lainnya adalah saat meliput peristiwa “Aksi Bela Tauhid” pada 2 November 2018 lalu. Fotografer itu dintimidasi saat sedang memotret sampah di area itu. Dia lantas diintimidasi dan peristiwanya direkam oleh massa yang melakukan demonstrasi.

Videonya disebar ke media sosial. “Untuk apa Anda potret itu sampah?” kata seseorang yang terekam di video itu dengan nada tinggi. “Coba lihat nametag-nya. Detik? Coba lihat identitasnya. Tolong difoto dong identitasnya,” kata yang lain, juga dengan nada marah.
Video disertai dengan keterangan tertulis: “Wartawan Detik terciduk ingin membuat aksi bela tauhid buruk dengan memfoto sampah.”
Seketika video itu viral di media sosial, seperti YouTube, Instagram, Facebook dan pesan berantai aplikasi WhatsApp. Bahkan ada akun Instagram dan Facebook yang mengunggah data pribadi di KTP dan kartu pers milik jurnalis tersebut diserta dengan kalimat bernada ancaman kekerasan.
Itu bukan kasus persekusi pertama terhadap jurnalis, namun jumlahnya ada kecenderungan meningkat. Pada tahun 2017 Jurnalis TopSkor Zulfikar Akbar dipersekusi secara online karena membuat cuitan tentang pria yang dikenal sebagai ustad Abdul Somad yang ditolak kehadirannya di Hong Kong oleh otoritas setempat.
Respons Zulfikar dianggap oleh netizen pendukung Somad sebagai bentuk penistaan. Cuitan itupun diikuti oleh ancaman massa akan mendatangi rumah, hingga tempat dia bekerja. Karena ancaman ini pula manajemen tempat Zulfikar bekerja memberhentikannya dari pekerjaannya.
AJI sudah lama memberi perhatian pada kasus doxing yang biasanya berujung pada persekusi itu. Sebelumnya, doxing dan persekusi secara online menimpa warga sipil. AJI bersama organisasi masyarakat bergabung dalam Koalisi Antipersekusi untuk menangani trend yang merisaukan ini.
2018, Tiga Kasus Pidana
Sebab, cuitan di media sosial harus dilihat sebagai bagian dari kebebasan berbicara dan berekspresi, sehingga tidak seharusnya disikapi dengan cara berlebihan yang merisak jati diri seseorang, hingga berujung perburuan dan kekerasan, bahkan pemidanaan.
Selain doxing persekusi online, tahun 2018 juga mencatat setidaknya ada tiga kasus pemidanaan terhadap jurnalis. Ketiganya masing-masing: Pemimpin Redaksi serat.id Zakki Amali, jurnalis Tirto.id Mawa Kresna, dan salah satu inisiator IndonesiaLeaks.id Abdul Manan.
Zakki dilaporkan ke ke Polda Jawa Tengah oleh Rektor Universitas Negeri Semarang (Unnes) pada 21 Juli 2018 dengan tuduhan pelanggaran Pasal 27 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Pelaporan tersebut didorong oleh berita investigasi dugaan plagiat Rektor Unnes dalam empat laporan yang terbit pada 30 Juni 2018.
Atas laporan ini, Polda Jawa Tengah sudah melakukan pemanggilan untuk kedua kalinya kepada Zakki pada 13 November 2018.
Ancaman UU ITE
Ancaman terhadap penggunaan Undang Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik juga dialami Jurnalis tirto.id Mawa Kresna terkait laporan mendalam soal sindikat jual-beli ijazah dan modus kuliah fiktif. Pelapornya adalah Staf Khusus Menteri Ristekdikti Abdul Wahid Maktub.
Sejauh ini Abdul Wahid telah menunjuk kuasa hukum dari Law Firm Sholeh, Adnan & Associates (SA&A) untuk menempuh jalur hukum terkait laporan Jurnalistik itu.
Sedangkan Ketua AJI Abdul Manan dilaporkan secara pidana ke Polda Metro Jaya pada 23 Oktober 2018 dan digugat secara perdata ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 24 Oktober 2018 terkait dengan liputan investigasi 5 media tentang “Skandal Buku Merah” dalam kolaborasi IndonesiaLeaks.
Liputan itu mengungkap kasus perusakan barang bukti yang berisi dugaan aliran dana ke para petinggi Polri yang dilakukan oleh penyidik KPK dari unsur polisi. Abdul Manan dkk dilaporkan pengacara Elvan Gomez ke Polda Metro Jaya dengan Pasal 317 KUHP tentang Pengaduan Palsu pada Penguasa.
Belum ada tindak lanjut dari Polda Metro Jaya atas pelaporan ini. Sedangkan gugatan perdata dicabut Gomez pada 26 Oktober. Untuk kasus kekerasan dan intimidasi terhadap media dan jurnalis, antara lain menimpa Harian Radar Bogor dan Majalah Tempo.
Radar Bogor, yang berkantor di Jalan KH. R. Abdullah bin Muhammad Nuh, Tanah Sereal, Bogor, didatangi sekitar 100 orang massa PDI Perjuangan. Massa juga memukul staf yang bertugas saat itu, serta merusak sejumlah properti milik redaksi.
Kedatangan massa partai penguasa ini memrotes pemberitaan yang terbit pada Rabu, 30 Mei 2018 berjudul ‘Ongkang-ongkang Kaki Dapat Rp. 112 juta’. Berita ini menulis besarnya pendapatan Megawati Soekarno Putri, Ketua Umum PDI Perjuangan, yang diangkat Presiden Joko Widodo menjadi Ketua Dewan Pengarah Badan Pengarah Ideologi Pancasila. Massa menilai pemberitaan ini menyudutkan Ketua PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri.
Kantor redaksi Tempo didatangi ratusan massa Front Pembela Islam pada 16 Maret 2018. Pimpinan massa yang berdiri di atas mobil komando menuntut redaksi media tersebut meminta maaf. Ketika Pemimpin Majalah Tempo Arief Zulkifli dan beberapa awak redaksi majalah ini menemui perwakilan massa di dalam kantor Tempo, bukan dialog sehat yang terjadi melainkan tekanan dan intimidasi.
Dua Regulasi Ancaman Jurnalis
Tekanan yang muncul pada redaksi sepanjang pertemuan itu, misalnya, memaksa perwakilan Tempo menggunakan kata ‘habib’ ketika menyebut nama Rizieq Shibab. Mereka menilai panggilan “bapak” atau “pak” juga dikategorikan menghormati Rizieq Shibab.
Selain kasus kekerasan, hal lain yang juga merisaukan bagi kebebasan pers adalah masih adanya pasal-pasal yang bisa mempidanakan jurnalis. Selama ini setidaknya ada dua regulasi utama yang bias mempidanakan jurnalis, yaitu KUHP dan Undang Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang direvisi menjadi UU Nomor 19 Tahun 2016.
Pada 2018 ini ada dua langkah legislasi Pemerintah dan DPR yang cukup merisaukan, yaitu yaitu amandemen Undang-Undang MD3 yang disahkan dalam sidang paripurna DPR 12 Februari 201823 serta revisi Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP).
Ada tiga soal dalam Undang Undang ini yang dianggap kontroversial. Satu di antaranya adalah adanya pasal yang mengindikasikan akan ada proses hukum bagi pengkritik DPR. Ini tertuang dalam pasal 122 huruf K yang mengatur tugas Mahkamah Kehormatan DPR (MKD).
Pasal itu berbunyi: “Mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR.” AJI mengkritik Pasal 122 dalam UUD MD3 itu karena bersifat “karet”, dan mengesankan DPR sbagai alergi terhadap kritik.
Ketidakjelasan definisi antara mengkritik dan menghina seperti yang selama ini sering terjadi, akan membuat Jurnalis dan media menjadi sasaran yang mudah untuk dijerat dengan pasal ini.
Revisi KUHP Peninggalan Belanda
Komunitas pers berharap revisi KUHP akan memberikan angin segar. Sebab, KUHP peninggalan penjajah Belanda itu memiliki cukup banyak pasal pidana yang bisa menyeret wartawan ke pengadilan dan menjebloskannya ke penjara.
Hanya saja dari pembahasan keduanya diketahui bahwa Pemerintah dan DPR mempertahankan sejumlah pasal yang selama ini dikritik karena mengancam kemerdekaan pers, termasuk pasal pencemaran nama baik (defamation) dan memasukkan lagi pasal penghinaan terhadap Presiden yang sudah dibatalkan Mahkamah Konstitusi tahun 2006.
Selain itu, juga ada pasal baru soal penghinaan terhadap lembaga peradilan (contemp of court). Pasal contempt of court terdapat dalam Pasal 329 huruf (d) Rancangan KUHP yang berbunyi: “Mempublikasikan atau membolehkan untuk dipublikasikan segala sesuatu yang menimbulkan akibat yang dapat mempengaruhi sifat tidak memihak Hakim dalam sidang pengadilan.”
Pasal ini menyediakan sanksi pidana 5 tahun penjara bagi yang melanggarnya. Pasal ini cukup krusial bagi wartawan. Sebab, ketika dia meliput di pengadilan, hakim atau pihak manapun bisa saja memperkarakan dengan alasan bahwa beritanya mempengaruhi hakim.
AJI juga menyoroti Pasal 309 ayat (1) yang terkait dengan kabar bohong. Pasal itu menyatakan, “Setiap orang yang menyiarkan berita bohong atau pemberitahuan bohong yang mengakibatkan keonaran atau kerusuhan dalam masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 tahun atau pidana denda paling banyak kategori III”.
Frasa “mengakibatkan keonaran” pada Ayat (1) tersebut berpotensi multitafsir dan sangat rentan dipakai untuk mengkriminalisasi wartawan.
Pasal lain yang jelas bisa membungkam kebebasan berekspresi adalah Pasal 494 tentang Tindak Pidana Pembukaan Rahasia. Pasal itu menyatakan, “Setiap orang yang membuka rahasia yang wajib disimpannya karena jabatan atau profesinya baik rahasia yang sekarang maupun yang dahulu dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun atau pidana denda paling banyak kategori III”.
Ketenagakerjaan Media
Situasi ketenagakerjaan di media punya potret yang mirip dengan kebebasan pers. Ini terlihat dari sejumlah kasus ketenagakerjaan yang dihadapi Jurnalis dan media yang ditangani Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers dan AJI.
Selama 2018 ini, LBH Pers menangani 11 kasus ketenagakerjaan di tujuh perusahaan media. Dari 11 kasus tersebut, 5 kasus terkait masalah “senja kala” media cetak, 1 kasus media online yang tidak mampu bertahan secara bisnis, serta 5 kasus pelanggaran normatif ketenagakerjaan.
Kasus ini melibatkan 22 Jurnalis dan 1 pekerja media. Sebanyak 5 kasus “senja kala” media cetak yang ditangani LBH Pers melibatkan 4 anak perusahaan Femina Group dan PT Citra Media Persada yang membawahi Tabloid Wanita Indonesia.
Forum Komunikasi Karyawan Femina Group (FKK-FG) menuntut pembayaran gaji yang selama ini dibayar perusahaan dengan cara dicicil sejak 2016. Menurut Kepala Bidang Advokasi dan Riset LBH Pers Gading Yonggar Ditya, perselisihan ketenagakerjaan di Femina Group sebenarnya sudah terjadi sejak awal 2016 lalu dan masih ditangani LBH Pers hingga tahun 2018 ini.
Kasus Tabloid Wanita Indonesia yang ditangani LBH Pers adalah soal PHK terhadap 9 karyawannya awal Agustus 2018 lalu. Selain itu, LBH Pers juga menangani 5 kasus terkait dengan dugaan pelanggaran normatif ketenagakerjaan di enam perusahaan media.
Serikat Pekerja
Perselisihan ketenagakerjaan yang ditangani LBH Pers ini berpotensi berlanjut karena pemicunya adalah karena lanskap media yang berubah, yang sebagian orang menamanya sebagai efek langsung dari “senjakala media”.
Bidang Ketenagakerjaan AJI juga mencatat satu kasus ketenagakerjaan yang sedang ditangani, yaitu penutusan hubungan kerja (PHK) sepihak terhadap jurnalis Inews TV Qodriansyah Agam.
Pada 29 November 2018, perwakilan AJI Makassar telah bertemu penanggungjawab Inews TV Makassar untuk mengklarifikasi alasan PHK tersebut namun belum ada jawaban yang memuaskan. Agam sedang berkoordinasi dengan tim penasihat hukum untuk menangani soal ini.
Sejumlah kasus PHK atau ketenagakerjaan ini idealnya ditangani oleh Serikat Pekerja, wadah berhimpun yang disediakan oleh Undang-undang untuk membantu jurnalis dan pekerja media menangani problem semacam ini. Namun, fakta soal Serikat Pekerja media di Indonesia masih juga kurang menggembirakan.
Menurut data Federasi Serikat Pekerja Media Independen, hingga tahun 2018 ini hanya ada 25 serikat pekerja media di seluruh Indonesia. Padahal jumlah perusahaan media di Indonesia jumlahnya ribuan.
Problem Etika Tahun Politik
Problem profesionalisme dan etika mendapat sorotan cukup besar terhadap jurnalis dan media di tahun 2018. Sejak awal tahun, aura dukung-mendukung, tersurat atau tersirat, mulai sangat terasa di media dan media sosial, termasuk oleh mereka yang berprofesi sebagai jurnalis.
Ini juga mengemuka karena ada fakta yang tak terhindarkan, yaitu sejumlah media memang dimiliki oleh politisi yang partainya berlaga dalam pemilu presiden dan legislatif tahun depan.
Menyadari adanya tantangan besar itu, AJI pada 14 Agustus 2018 merilis seruan agar jurnalis dan media mendahulukan kepentingan publik, bukan kepentingan partai atau pemiliknya, serta mendorong Jurnalis menjaga independensinya. Seruan introspektif lainnya adalah agar jurnalis dan media berusaha bersikap professional dalam bekerja, termasuk mematuhi Kode Etik Jurnalistik (KEJ).
Jurnalis dan media harus berusaha mendahulukan kepentingan publik dari yang lainnya. Pasal 1 Kode Etik Jurnalistik (KEJ) menyatakan, “Wartawan Indonesia bersikap independen”.
Sikap ini antara lain harus ditunjukkan dengan menjadikan pertimbangan “apakah ini penting dan baik bagi publik” sebagai alasan utama untuk meliput atau tidak meliput sebuah peristiwa terkait pemilihan presiden. Meski tak menutup mata bahwa media merupakan lembaga bisnis yang harus mendapatkan keuntungan ekonomi, tapi itu hendaknya tidak menjadi pertimbangan utama atau satu-satunya dalam memilih tema yang akan diliput.
Jurnalis juga harus berusaha maksimal untuk menjaga independensinya. Memberikan pendapat atau pernyataan di media sosial adalah bagian dari kebebasan berekspresi yang dilindungi Konstitusi.
Namun, untuk Jurnalis, hendaklah pemanfaatan hak itu digunakan secara berhati-hati agar tidak mempengaruhi independensinya. Ekspresi jurnalis di depan publik (termasuk media sosial) tentang calon tertentu akan membuat independensinya menjadi tanda tanya dan itu bisa menyulitkan Jurnalis dalam menjalankan profesinya.
Sebagai implementasi dari prinsip independensi ini pula maka jurnalis tidak boleh menjadi tim sukses partai atau calon presiden, baik resmi atau tidak resmi.
Jurnalis dan media harus selalu berusaha bersikap profesional. Undang Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers menyebut tiga fungsi utama media, dua di antaranya adalah memberikan “pendidikan” dan menjalankan “fungsi kontrol sosial”. Dalam momentum pemilihan umum presiden saat ini, amanat itu sepatutnya ditunjukkan dengan membuat liputan yang memenuhi dua fungsi tersebut.
Problem Jurnalis Perempuan
Salah satu tantangan yang juga dihadapi jurnalis perempuan di Indonesia adalah menghadapi kasus kekerasan seksual dalam menjalankan profesinya. Ini merupakan problem yang banyak diketahui namun jarang muncul secara terbuka.
Soal ini diungkap media Asian Correspondent pada 15 Januari 2018 dalam artikel berjudul “Female journalists, male politicians and the epidemic of sexual harassment in Asean.”
Laporan tersebut mengutip cerita dua jurnalis perempuan Malaysia dan seorang jurnalis perempuan Indonesia. Ketiganya berbagi pengalaman serupa tentang terjadinya pelecehan seksual saat menjalankan profesinya sebagai jurnalis.
Tindakan pelecehan itu dilakukan melalui pesan teks, kontak fisik, hingga undangan makan malam ‘khusus.’ Hal yang disesalkan, ada satu fakta yang terungkap bahwa ketika jurnalis perempuan melaporkan kasus pelecehan seksual itu pada editornya, ia justru diminta untuk ‘memanfaatkan’ situasi itu untuk mendapatkan berita yang lebih eksklusif.
Dalam kurun waktu tiga tahun terakhir ini, Indonesia memang mencatat sejumlah kasus pelecehan seksual terhadap jurnalis perempuan yang mencuat ke permukaan. memang terjadi di sejumlah daerah.
Tiga kasus yang menonjol adalah yang di Jakarta, Ngawi (Jawa Timur), dan Medan (Sumatera Utara). Pertama, kasus kekerasan seksual terhadap empat perempuan di kantor berita Antara, Jakarta. Kedua, kasus pelecehan seksual yang terjadi pada seorang perempuan reporter magang di Radar Ngawi. Ketiga, kasus pelecehan seksual yang terjadi terhadap seorang reporter di Medan.
Dua kasus yang disebut lebih dulu itu dilakukan oleh atasan korban, sedangkan kasus di Medan dilakukan aparat keamanan.
AJI dan NGO di Malaysia, Gerakan Media Merdeka (Geramm), dalam pernyataan sikap bersama pada 19 Januari 2018, mendesak pihak-pihak yang berkepentingan untuk menolak dan terus menolak segala bentuk pelecehan seksual terhadap semua jurnalis, atau dalam kasus khusus ini terhadap jurnalis perempuan.
Pembiaran dan Abai
Kasus-kasus seperti ini telah lama diabaikan karena dianggap tidak penting, bahkan dianggap hal yang ‘normal’ sebagai bagian dari interaksi sehari-hari antara jurnalis dan sumber berita mereka.
AJI dan Geramm menilai munculnya suara dari beberapa jurnalis perempuan yang berani berbagi cerita, berarti ini saatnya bagi kantor media untuk merespons laporan kasus tersebut dengan serius, dan mempertimbangkan membuat kebijakan untuk mengatasi masalah tersebut. Batas kabur antara pelecehan seksual dan hubungan baik dengan nara sumber, harus ditarik dengan jelas.
Berdasarkan sejumlah catatan itu, semua sumber berita, terlepas dari status mereka, untuk menunjukkan rasa hormat terhadap Jurnalis yang sedang menjalankan tugasnya.
Penulis: Ceppy F. Bachtiar | Editor: Ceppy F. Bachtiar
Komentar