Nalar.ID

Dampak Usia Perkawinan Anak Menurut Gusti Rosalina

Nalar.ID – Belum lama ini, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian gugatan uji materi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Materi ini menyoal batas usia perkawinan anak.

Pertimbangan MK, perbedaan batas usia perkawinan pria dan perempuan memancing diskriminasi. Dalam UU tersebut, perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria telah mencapai usia 19 tahun dan perempuan 16 tahun.

Menurut Ketua Bidang Pemberdayaan dan Perlindungan Perempuan dan Anak dari Perempuan Merah Putih, Gusti Rosalina Oca, kedua batasan usia tersebut sebaiknya ditingkatkan menjadi 26 tahun bagi pria, dan 22 tahun untuk perempuan.

“Umur 22 adalah umur minimal sarjana. Buat pria, sebaiknya punya pengalaman kerja minimal 4 tahun setelah lulus sarjana agar lebih mapan dalam berumah tangga. Sebaiknya, usia perkawinan untuk pria adalah 26 tahun. Kalau perempuan, 22 tahun agar lebih dewasa dalam membina rumah tangga,” jelasnya, dihubungi Jumat (23/8).

Gusti Rosalina Oca - nalar.id
Gusti Rosalina Oca. NALAR/Dok.pribadi.

Ia menambahkan, berdasarkan penelitian dan praktisi psikologi, psikologi perempuan lebih dewasa. Setidaknya empat tahun pada keadaan normal dengan pria seumur.

Identitas Pribadi

Dari jurnal ‘Hubungan Sikap Terhadap Penundaan Perkawinan dengan Intensi Penundaan Usia Perkawinan’ oleh Elok Halimatus Sa’diyah dari dosen Fakultas Psikologi UIN Malang, disebutkan bahwa ada hubungan yang positif dan sangat signifikan antara sikap terhadap penundaan usia perkawinan dengan intensi penundaan usia.

“Ini berarti mereka punya keyakinan yang tinggi bahwa penundaan usia perkawinan akan memberikan keuntungan bagi mereka. Baik dari segi biologis, psikologis, sosial dan ekonomi. Penundaan perkawinan akan memberi waktu lebih banyak bagi mereka untuk membentuk identitas pribadi sebagai individu yang matang secara biologis, psikologis, sosial dan ekonomi,” tukasnya.

Jadi, lanjutnya, bukan megenai siapa diskriminasi pada pasal ini. Melainkan keduanya bagi pria atau perempuan, batasan umur ditingkatkan.

“Poinnya adalah meningkatkan batasan umur menjadi 26 tahun untuk pria, dan 22 tahun untuk perempuan,” tambahnya.

Meskipun UU ini menjadi polemik, nyatanya masih ada sebagian masyarakat yang menetap di pedesaan atau jauh dari perkotaan yang warganya menikah di bawah umur. Solusi terbaik, menurut Rosalina yakni, pendidikan atau edukasi.

“Bagian pendidikan mana? Ya, pendidikan mengenai karir, hidup, dan seks yang aman,” imbuhnya.

Dampak Trauma

Disisi lain, katanya, perkawinan anak tidak hanya memicu dampak kesehatan, namun berbagai trauma dalam kehidupannya. Mulai dari seksual, tanggung jawab kehidupan pernikahan, memiliki relasi serius dan lawan jenis, hingga trauma terhadap pernikahan itu sendiri.

Termasuk mengarah pada depresi yang berpotensi pada tindakan bunuh diri. Baik secara langsung maupun tidak. Dampak lainnya, “Sebagai makhluk sosial di cap single parent atau janda dengan kondisi belum siap mental dan ekonomi untuk menghidupi anaknya sebagai single parent.”

Di sini, menurutnya, pemerintah belum siap memberikan perlindungan khusus terhadap perempuan single parent dan anak-anak yang tidak punya orang tua lengkap.

Penulis: Febriansyah | Editor: Ceppy F. Bachtiar

Komentar

Ikuti Kami

Kami nalar, punya alasan informasi tak ditelan mentah. Mari, sama-sama bernalar.

Nalar.ID | Cerdas Menginspirasi