Nalar.ID, Jakarta – Kesehatan menjadi salah satu isu yang banyak mendapatkan perhatian dan dukungan dari pelaku filantropi. Dukungan filantropi ini bisa menjadi sumber daya alternatif untuk menopang pelayanan kesehatan dalam sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), khususnya melalui skema indirect cost.
Sayangnya, besarnya dukungan filantropi untuk kesehatam ini belum didukung dengan kebijakan pemerintah dan insentif yang memadai, khususnya insentif perpajakan.
Beberapa temuan itu mengemuka saat pemaparanhasil riset “Pemetaan Kegiatan Filantropi di Indonesia” pada acara Forum Nasional Filantropi Kesehatan di Kampus Universitas Gadjah Mada (UGM) di Yogjakarta, Selasa (21/7/2020).
Riset ini merupakan kolaborasi Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) UGM dengan Filantropi Indonesia. Acara Forum Nasional ini tersebut menghadirkan dr. Jodi Visnu, MPH(tim peneliti PKMK UGM) dan Hamid Abidin, M.Si (Direktur Eksekutif Filantropi Indonesia) sebagai pembicara, sementara Pungkas Bahdjuri Ali, STP, MS, Ph.D (Direktur Kesehatan dan Gizi Bappenas) dan dr.Untung Suseno, M.Kes (Analis Kebijakan Ahli Utama Kementerian Kesehatan)tampil sebagai pembahas.
Dalam paparannya, dr. Jodi Visnu, MPH, tim peneliti PKMK UGM menyatakan, kesehatan merupakan salah satu program yang banyak didukung pelaku filantropi. Tim peneliti mengidentifikasi 117 lembaga yang teridentifikasi sebagai pelaku filantropi kesehatan.
Mereka terdiri dari 41 korporasi, serta lembaga non-korporasi yang terbagi menjadi 15 lembaga yayasan korporasi, 5 lembaga berbasis keluarga, 16 lembaga berbasis keagamaan, dan 40 lembaga independen.
Peluang Eksplorasi
Dalam memberikan dukungan bagi sektor kesehatan, pelaku filantropi kesehatan itu berperan sebagai grantor (donatur atau penyumbang), intermediary (lembaga perantara), dan implementer (pelaksana program).
Menurut Jodi, pelaku filantropi kesehatan, baik individu maupun institusi, berkontribusi pada perwujudan dan peningkatan kualitas kesehatan dalam masyarakat lewat upaya promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif, dan suportif.
Bantuan kemanusiaan yang diberikan oleh para filantropis dapat secara langsung maupun tidak langsung terkait dengan sistem kesehatan. Oleh karenanya, banyak hal di luar sektor kesehatan yang berdampak bagi kesehatan masyarakat dan masih memiliki peluang untuk dieksplorasi.
Selain itu, filantropi kesehatan jni juga bisa mendukung danmelengkapi sistem pembiayaan kesehatan melalui sistem JKN. Diketahui, tahun 2014, pemerintah Indonesia telah membentuk Badan Jaminan Kesehatan Sosial (BPJS) untuk mengimplementasikan program jaminan sosial kesehatan.
Skema asuransi nasional ini telah mencapai kemajuan, tetapi menghadapi defisit yang semakin besar dari waktu ke waktu. Meskipun pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) mencapai 5,2%, proporsi total pengeluaran kesehatan atas PDB tetap stagnan di angka 3,2-3,3%.
Institusi yang berkecimpung dalam bidang filantropi kesehatan menyadari bahwa peran pemerintah adalah yang utama dalam pelayanan kesehatan masyarakat. Pemerintah telah memiliki anggaran untuk kegiatan program promotif dan preventif di sektor kesehatan.
Dalam program kuratif, pemerintah menanggung pembiayaan kebutuhan medis untuk kebutuhan dasar kesehatan yang disebut dengan direct cost. Hal ini secara detil diatur dalam peraturan pemerintah Indonesia yang telah bekerja sama dengan BPJS sejak 2014.
Namun, pemerintah tidak menanggung biaya indirect cost dalam pelayanan kesehatan. Biaya tersebut adalah kebutuhan non-medis pasien, antara lain transportasi pasien rujukan lepas, biaya penunggu keluarga pasien, dan biaya rumah singgah pasien dalam antrean layanan di rumah sakit yang membutuhkan waktu beberapa hari.
“Bagi pasien yang tidak mampu, biaya ini dapat memberatkan dan berpotensi dalam menghalangi pasien untuk memperoleh pelayanan kesehatan. Di sinilah filantropi bisa mendukung indirect cost sehingga bisa jadi penopang dan pendukung sistem JKN yang dikembangkan pemerintah,” kata Jodi, kepada Nalar.ID, Selasa (21/7/2020).
Rp 905 Miliar
Direktur Filantropi Indonesia, Hamid Abidin, menyatakan bahwa kesehatan menjadi program yang banyak di support oleh individu atau lembaga filantropi, disamping program pendidikan, bencana, penyantunan dan pelayanan sosial.
Hal ini tergambar dari dukungan masyarakat terhadap penanganan pandemi Covid-19 yang melanda Indonesia dan dunia. Hasil kajian Filantropi Indonesia menunjukkan, sampai akhir Juni 2020, dukungan dana dari sektor filantropi untuk pandemi ini mencapai Rp 905 miliar.
“Pandemi akan memperkuat tren dukungan kepada sektor kesehatan sebagai orioritas utama filantropi untuk beberapa tahun mendatang,” kata Hamid.
Sayangnya, menurut Hamid, dukungan filantropi yang sangat besar terhadap sektor kesehatan ini tidak diimbangi dukungan kebijakan oleh pemerintah, salah satunya lewat insentif perpajakan. Hamid mengungkap bahwa sampai saat ini belum ada kebijakan insentif pajak untuk filantropi kesehatan.
Kebijakan insentif pajak bagi sumbangan hanya berlaku bagi sumbangankeagamaan, bencana nasional, pendidikan, riset dan pengembangan, indrastruktur sosial dan olah raga.
Karena itu, sampai saat ini sumbangan untuk kesehatan belum bisa dikecualikan sebagai objek pajak (tax exemption) dan belum bisa menjadi pengurang penghasilan kena pajak (tax deduction).
Selain insentif dalam bentuk tax incentives, Hamid berharap pemerintah bisa memberikan dukungan kemudahan, data dan riset, serta apresiasi bagi pelaku filantropi kesehatan.
Menurutnya, pemerintah perlu mendukung donor education kepada masyarakat agar menjadi penyumbang yang bijak dan terorganisir serta berorientasi jangka panjang.
Penulis: Ceppy F. Bachtiar | Editor: Ceppy F. Bachtiar
Komentar