Nalar.ID – Hari Musik Nasional (HMN) diperingati setiap 9 Maret. Enam tahun silam, atau tepat 9 Maret 2013, Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono menelurkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 10 Tahun 2013 tentang HMN.
Sebetulnya, penetapan HMN bukan hari libur nasional. Dalam Keppres disebut, musik adalah ekspresi budaya yang bersifat universal dan multi dimensional.
“Para insan musik Indonesia bersama masyarakat selama ini telah memeringati tanggal 9 Maret sebagai Hari Musik Nasional,” tulis bunyi keppres tersebut.
Penetapan HMN oleh pemerintah diharapkan mampu meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap musik. Walau baru digulirkan 2013, sebenarnya usulan Persatuan Artis, Pencipta, dan Rekaman Musik Indonesia (PAPRI) tersebut sudah ada sejak 2003.
PAPRI kali pertama menggelontorkan usulan perlunya HMN dalam kongres ketiga tahun 1998, dan kongres keempat 2002.
Konferensi Musik Indonesia
Lantas, mengapa 9 Maret dipilih menjadi HMN? Rupanya, tanggal itu merupakan hari lahirnya Wage Rudolf Soepratman, atau WR Soepratman. Ia lahir tahun 1903 di Somongari, Purworejo. Beliau pencipta lagu kebangsaan Indonesia berjudul Indonesia Raya. Ia juga pahlawan nasional Indonesia.
Diketahui, saat menetap di Makassar, Soepratman, memperoleh pelajaran musik dari kakak iparnya, Willem van Eldik. Sayangnya, Soepratman, belum sempat menikmati hidup dalam suasana kemerdekaan. Akibat menciptakan lagu itu, ia selalu diburu oleh polisi Hindia Belanda, hingga jatuh sakit di Surabaya.
Kemudian di penjara di Kalisosok, Surabaya. Ia meninggal 17 Agustus 1938 karena sakit. Atas jasanya itu, 9 Maret dijadikan Hari Musik Nasional.
Lima tahun setelah Indonesia memiliki HMN, sejumlah musikus menggelar Konferensi Musik Indonesia (KAMI) di Kota Ambon, Maluku, pada 7-9 Maret 2018.
Di sana, para pemerhati dan pelaku musik, bersama pemerintah dan pengusaha, membahas berbagai topik industri musik Tanah Air. Mereka membicarakan segala masalah hingga mencari solusi.
Ada banyak pembahasan dalam konferensi tahun lalu yang digagas oleh musisi Glenn Fredly itu. Mulai dari musik dalam pemajuan budaya; tata kelola industri musik di era digital; musik sebagai alat pemersatu dan perdamaian bangsa; hingga diplomasi musik, budaya, dan pariwisata.
Dalam momen peringatan HMN 2019, musisi Indonesia dihadapkan pada polemik Rancangan Undang-Undang (RUU) Permusikan. Sejumlah musisi yang tergabung dalam Koalisi Nasional Tolak RUU Permusikan menolak pengesahan draft RUU. Menurut mereka, ada sejumlah pasal merugikan musisi.
Penarikan Draft RUU Permusikan
Di kesempatan terpisah, salah satu anggota DPR Anang Hermansyah resmi menarik usulan RUU itu dari badan legislasi DPR RI. Kata Anang, keputusan penarikan usulan draft RUU itu sebagai tindak lanjut atas masukan dan saran dari seluruh stakeholder ekosistem musik di Indonesia.
“Agar terjadi kondusifitas di seluruh stakeholder ekosistem musik di Indonesia,” kata Anang, dalam siaran tertulis diterima Nalar.ID, Kamis (7/3).
Dalam kasus ini, ada yang meminta revisi draft materi RUU. Ada pula yang menolak seluruhnya. Ia berharap, persoalan ini bisa diselesaikan dengan musyawarah. Ia mengatakan, persoalan RUU ini bisa kembali selesai usai pemilihan presiden dan legislatif 2019.
Polemik RUU ini ikut memecut reaksi produser musik dan bos label rekaman, Rahayu Kertawiguna. CEO Nagaswara Music & Publishing ini menuturkan, persoalan pembajakan hak cipta masih tetap marak. Baik fisik maupun illegal download.
Rahayu meminta, perlu ada pembenahan sistem guna mengatasi hal itu. “Terutama struktur industri rekaman dalam pembagian hak royalti dan metadata lagu itu sendiri,” kata Rahayu, dihubungi Nalar.ID, Minggu (10/3).
Lalu, siapa yang harus bertanggung? Kata Rahayu, industri atau aparat penegak hukum harus bisa bekerja sama dan berperan aktif menuntaskan pekerjaan rumah lama ini. Tujuannya, agar industri musik bisa bergairah di masa mendatang.
“Kami sudah melaksanakan melalui ASIRI. Kami salah satu BOD ASIRI, sangat berperan aktif memberantas pembajakan ini. Mulai dari pelaporan sampai sidang di pengadilan,” jelasnya.
Royalti = Ekonomi
Senada dengan gagasan Koalisi Nasional Tolak RUU Permusikan, Rahayu, ikut memberikan usulan revisi dan masukan draft. Ia menilai, banyak draft harus direvisi. Harapannya, kata Rahayu, agar lebih menguntungkan pihak seniman musik, musisi dan produser. Bukan justru mengebiri bahkan membunuh seniman musik dan industri.
Disisi lain, persoalan industri musik nasional dan RUU Permusikan, tak sekadar pembajakan. Namun keterlibatan narkoba di kalangan musisi.
Terbaru adalah penangkapan Zul, vokalis band Zivilia, atas kepemilikan barang haram sabu-sabu, beberapa waktu lalu. Zul mengakui, terpaksa berprofesi ganda sebagai pengguna dan pengedar narkoba karena motif ekonomi.
Rahayu punya analisis masuk akal. “Pembajakan hak cipta, imbasnya terhadap seniman musik, musisi, penyanyi, pencipta lagu, hingga produser rekaman. Industri dirugikan. Otomatis, nilai ekonomi itu berkurang, bahkan hilang. Tapi bukan berarti harus pelarian dan frustasi dengan narkoba. Itu namanya sudah jatuh tertiban tangga,” sambungnya.
Pihaknya tak ada toleransi dengan narkoba. Siapapun yang berani melakukan, harus berani tanggung jawab. “Narkoba hanya membuat musisi bodoh. Bukan jadi pintar karena halusinasi sesaat,” tutupnya.
Penulis: Febriansyah | Editor: Ceppy F. Bachtiar
Komentar