Nalar.ID – Ada yang menarik dalam ajang International Coaching Week (ICW) yang digelar serentak di seluruh dunia pada 29 April – 5 Mei 2019 lalu. Pasalnya, kegiatan tersebut dilakukan dengan melibatkan para leader dan coach yang terakreditasi.
Kegiatan diselenggarakan di sejumlah kota besar di Tanah Air. Salah satunya Cilegon, Banten. Di kota ini, ada tiga kegiatan dalam memperkenalkan coaching pada pesta wirausaha Komunitas TDA (Tangan di Atas), Yayasan Pendidikan Krakatau Steel, dan Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI).
Selain Cilegon, ICW dilakukan di Yogyakarta melalui Yayasan SDIT (Sekolah Dasar Islam Terpadu) Alam Nurul Islam, Nogotirto. Kemudian, di Bogor, melalui komunitas Bazis Cerdas oleh mahasiswa penerima beasiswa Badan Amil Zakat Infaq dan Sadaqah (Bazis) dari berbagai perguruan tinggi di Jakarta.
Sementara, untuk Makassar, pengenalan coaching dilakukan oleh relawan siaga bencana ACT (Aksi Cepat Tanggap). Disusul Purwokerto, tepat di hari Pendidikan Nasional. Di kota ini, ICW dilakukan oleh mahasiswa dan para dosen Universitas Jenderal Soedirman, dan Universitas Nahdlatul Ulama.

Kota berikutnya, Jakarta. Di kota ini, ICW dilakukan bersama para staf dari stasiun televisi swasta Metro TV. Pesta ICW ditutup di dua kota, Bandung, dan Komunitas TDA di Pekanbaru, pada 4 Mei 2019.
Antusiasme terkait profesi coach dipaparkan jelas disertai kompetensinya. Salah satunya pengetahuan coaching di Bandung. Di kota ini, terdapat coaching summit. Dihadiri oleh pembicara handal, praktisi, trainer, dan para guru coaching.
Definisi Dasar
Kemeriahan pesta ICW ini bekerjasama dengan sejumlah komunitas. Mereka memperkenalkan, mengalami, mencoba, dan merasakan proses coaching oleh professional coach yang telah menjalani proses kredensial oleh International Coach Federation (ICF).
Jika melihat Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), definisi coaching, yakni melatih, mengajar, menginstruksikan, memberikan saran kepada tim, atau seseorang, untuk mencapai tujuan tertentu.
Sementara, seorang pelatih profesional atlit Tennis tim Gallwey mendefinisikan proses coaching sebagai penggalian potensi seseorang guna memaksimalkan performa-nya. Lalu, membantu mereka untuk belajar. Yakni, lebih memberdayakan kemampuan jika dibandingkan dengan sekadar ‘mengajari mereka’.
Profesi coach memiliki kompetensi sebagai pendengar yang baik. Tidak mengajarkan atau menginstruksikan sesuatu. Tidak pula memberikan saran atau solusi bagi coachee-nya (coachee: orang yang di-coaching). Serta tak ada konsep salah-benar dalam benak. Namun, mereka tetap mampu membantu coachee-nya belajar dan bertumbuh.

Lalu, bagaimana caranya? Dengan mengajukan pertanyaan. Tentu, bukan sembarang pertanyaan. Melainkan sejumlah pertanyaan yang dapat memicu kesadaran diri dan memprovokasi tindakan kreatif. Hal ini dijalankan oleh Socrates berabad-abad yang lalu meskipun saat ini sudah ditinggalkan.
Diketahui, ICF di Indonesia bernama ICF Jakarta Charter Chapter. Lembaga ini dipimpin oleh Dr. Chairunnisa, drg., Sp.BM., yang mengemban posisi president. Dokter Irun, sapaan akrab Chairunnisa, menerima mandat sejak periode 2019 – 2020.
Do and Don’t
Ia memiliki kredensial Associate Certified Coach (ACC) dengan pendidikan coach. Serta memperoleh sertifikasi terakreditasi Acredired Coach Training Program (ACTP), dan Approved Coach Specific Training Hours (ACSTH).
Sejatinya, sejumlah profesi yang kadang bersinggungan dengan coach diantaranya konseling, konsultan, dan mentoring. Seorang coach tidak dianjurkan memberikan saran dan memberitahu tahapan yang harus dilakukan.
Coach, dalam sesi pertemuannya dengan coachee atau mente (klien), menjalankan dalam bentuk percakapan disengaja secara berkesinambungan. Sesi digelar dalam diskusi 1:1, grup, telepon, dan training.
Sementara, coach yang terlatih bakal mengajukan sejumlah pertanyaan yang menyentuh inti persoalan. Yaitu fokus pada solusi sehingga coachee dapat menemukan jawaban dari dan baginya sendiri, bukan dari jawaban coach-nya.
Tantangan
Selain itu, tantangan bagi coach, yakni cermat mendengarkan ‘tanpa’ menghakimi, menggurui, menyarankan, mengasumsikan, memanipulasi cara berfikir, menasehati, dan memberikan solusi.
Tidak hanya itu. Selama percakapan, seorang coach mengajukan pertanyaan, mendengarkan, menyemangati, dan menarik kesimpulan. Hingga diakhiri oleh tahapan tindakan-tindakan nyata yang akan diambil dan dijalankan oleh coachee.
Coaching berasal dari kata dasar ‘coach’. Istilah ini berasal dari desa kecil di Hungaria, yaitu ‘Kocs’. Artinya, gerobak atau kereta kuda. Kocs merupakan metafora dari proses coaching, yakni membawa seseorang dari satu kondisi saat ini ke kondisi yang diinginkan.
Sementara, menurut Erik de Haan, coaching berasal dari sarana transportasi kendaraan kayu atau besi yang ditarik oleh kuda abad ke-15. Maka, sejak saat itu, istilah coaching diaplikasikan dalam dunia pendidikan dan pelatihan.

Adapun, sarana transportasi tersebut ialah simbol yang dipakai untuk menjelaskan seorang coach yang membawa orang-orang ke ‘tempat’ yang mereka inginkan. Tempat yang dimaksud banyak pengertian. Misalnya, cita-cita, visi, target, potensi, kekuatan, dan solusi.
Awalnya, istilah coaching diperkenalkan tahun 1830. Ini merujuk pada pelatih (trainer) atau instruktur. Penggunaan istilah coach juga erat kaitan dengan olahraga yang dipakai tahun 1831. Kata coach berarti melatih secara intensif dengan pemberian instruksi dan demonstrasi.
Syarat Coaching
Dalam perjalanannya, coaching terus berkembang. Terutama di Amerika Serikat tahun 1990. Leonard adalah pemikir yang mengembangkan coaching sebagai disiplin ilmu. Tahun 1994, Leonard membentuk International Coach Federation (ICF). Lantas, berkembang menjadi asosiasi yang memayungi coach profesional di seluruh dunia.
“Syarat pertama coaching adalah awareness atau kesadaran diri. Setiap saat, perubahan terjadi di sekitar kita. Jika sudah masuk dasar perubahan, maka kesadaran diri dibutuhkan,” ucap dokter Irun, kepada Nalar.ID, Senin (6/5).
Adapun, lanjut Irun, coaching praktek, pada dasarnya merupakan obrolan untuk menemukan potensi, kelemahan, hambatan, kelebihan, dan pengetahuan apa yang diperlukan. “Sehingga, dari sana, daya ungkit untuk capaian goal bisa dipenuhi dengan komitmen diri,” tutupnya.
Penulis: Febriansyah | Editor: Ceppy F. Bachtiar
Komentar