Nalar.ID – Sidang perdana praperadilan atas kasus penipuan, penggelapan dan penjualan, aset kapal tanker oleh pelapor HS, oleh terlapor F atau PT.MAS, berlangsung di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (6/5) lalu.
Kasus terdaftar dengan nomor perkara 37/Pid.Pra/2019/PN, yang didaftarkan 12 April 2019 lalu. Hutajulu, salah seorang tim kuasa hukum HS dari kantor pengacara Dhipa Adista Justicia (DAJ) pimpinan Brigjen Pol (P) Drs. Siswandi di Jakarta, menuturkan materi sidang ini ialah pembacaan permohonan keberatan pihak pelapor.
“Keberatan kami atas diterbitkannya SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan) kepada Nona F. Kami melihat ini melanggar aturan dalam KUHAP (kitab undang-undang hukum acara pidana),” kata Binsar Hutajulu, usai sidang berlangsung.
Uji Materi
Silvia Yulia Sari, tim kuasa hukum DAJ lain turut menyatakan, pihaknya ingin menguji hukum melalui praperadilan. “Kami menyatakan tidak terima. Tidak sah upaya SP3 oleh kepolisian terhadap kasus klien kami,” jawab Silvia.
Pihaknya berharap, tabir kasus ini dapat dibuka kembali. Kemudian, kembali dilanjutkan ke tahap berikutnya, yaitu penuntutan. Pihak DAJ berharap, perkara ini melalui putusan pengadilan dinyatakan tidah sah. Sehingga bisa dibuka kembali proses penyidikan. Termasuk ditingkatkan proses penuntutan ke kejaksaan atau pemeriksaan di pengadilan negeri.

Materi sidang praperadilan kali ini lebih menitikberatkan pada proses penghentian penyidikan kasus. “Dalam KUHAP, kami diberikan kewenangan untuk mengajukan praperadilan,” timpal Silvia.
Kasus ini bermula dari kepemilikan kapal tanker atas nama HS sebesar 60 persen, dan F atau PT.MAS sebesar 40 persen. Tanpa sepengetahuan HS, kapal itu dijual oleh F yang notabene memiliki saham terkecil.
Banyak Kejanggalan
Pihak kuasa hukum mengaku heran, bagaimana bisa ada penjualan kapal itu, sementara sertifikat ada di bank.
“Bagaimana mungkin kapal bisa dijual oleh terlapor dengan saham lebih sedikit. Sampai tidak tahu sertifikat dinyatakan hilang. Sertifikat mau di foto kopi, hilang padahal (sertifikat) ada di bank. Siapa yang ambil (sertifikat) itu? Berarti, ada pemalsuan dan penggandaan (sertifikat),” jelas Siswandi, mantan petinggi Badan Narkotika Nasional (BNN), dalam keterangan terpisah, April lalu.
Ia menilai, sejak awal, banyak kejanggalan dalam kasus ini. Seharusnya, kata Siswandi, sebelum pihak kepolisian menerbitkan SP3, pelapor atau korban harus disidik dahulu.
“Bukan justru di SP3-kan pada saat bersamaan dengan pemanggilan itu. Ini baru (polisi) profesional. Sesuai program Polri: Promotor (profesional, modern, dan terpercaya),” tandasnya.
DAJ menambahkan, pihak pelapor ingin mencari keadilan atas kasus ini ke Bareskrim Polri. Siswandi berharap, Ketua PN Jaksel Drs. M.Arifin SH., M.Hum., menunjuk hakim yang kredibel. Serta memiliki integritas profesional dan tidak menerima intervensi dari pihak manapun terhadap kasus ini.
“Masyarakat pencari keadilan dan kebenaran harus mendapatkan hak yang sama terkait kasus ini,” ungkap Siswandi.
Penulis: Febriansyah | Editor: Ceppy F. Bachtiar
Komentar