Nalar.ID, Jakarta – Penerapan skema pembayaran upah per jam dinilai akan mendorong peningkatan investasi yang sekaligus membawa dampak terhadap penciptaan lapangan kerja.
Rencana sistem upah kerja per jam ini akan dimasukkan dalam RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja. Harapannya, bisa memperkuat perekonomian nasional dan daya saing Indonesia.
“Skema upah per jam dalam Omnibus Law itu akan menggenjot investasi dan menumbuhkan lapangan kerja baru,” ucap Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita di Jakarta, belum lama ini, dalam keterangan tertulis kepada Nalar.ID.
Menurut Menperin Agus, sistem upah yang dihitung per jam bukan hal yang baru dalam dunia tenaga kerja. Sebab, sejumlah negara sudah menggunakan skema tersebut.
Dilansir dari situs World Population Review, ada 10 negara memberikan upah per jam dengan nilai besar. Diantaranya, Luksemburg, Australia, Prancis, Selandia Baru, Jerman, Belanda, Belgia, Inggris, Irlandia, dan Kanada.
Agus menegaskan, untuk sektor industri, akan tetap mengikuti pola gaji minimum bulanan. Namun, sektor penunjang industri seperti sektor jasa dan perdagangan dapat memanfaatkan penerapan upah per jam.
“Penerapan gaji per jam ini untuk pekerja jasa dan pekerja paruh waktu. Misalnya konsultan. Skema pengupahan per jam sebenarnya sudah lumrah dilakukan di negara-negara maju,” tukasnya.
Tingkatkan Produktivitas Kerja
Ia menambahkan, pembayaran per jam ini akan membuka kesempatan bagi perusahaan dalam memberikan fleksibilitas untuk menerapkan pengupahannya.
“Sebenarnya ini adalah opsi perusahaan maupun pekerja untuk menentukan cara kerja yang paling tepat untuk mereka,” imbuhnya.
Saat ini, dengan skema gaji tetap, pekerja yang masuk dengan jumlah hari yang berbeda tetap mendapatkan gaji yang sama. Sementara upah per jam, upah yang diterima pekerja sesuai dengan jam kerjanya. “Harapannya bisa meningkatkan produktivitas pekerja kita,” ujar Agus.
Menperin menambahkan, pemerintah sedang memberikan perhatian lebih kepada pengembangan sumber daya manusia sebagai program prioritas.
“Fokus ini salah satunya guna merebut peluang terhadap momentum bonus demografi yang dinikmati Indonesia hingga tahun 2030,” tandasnya.
Penulis: Erha Randy | Editor: Ceppy F. Bachtiar
Komentar