Jakarta, Nalar.ID – Usulan perlu-tidaknya jalan bebas hambatan atau tol khusus bagi sepeda motor di Indonesia, mengemuka. Pro-kontra silih berganti. Pemerintah diminta jangan gegabah.
Sesama warga pembayar pajak, pengendara dinilai berhak menikmati tol. Tapi pemerintah tidak ingin gegabah merealisasikannya. Ditemui di Jakarta, Rabu (30/1), Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi, belum bisa berandai-andai sebab jumlah motor saat ini begitu banyak.
“Ruas jalan tol masih terbatas. Saya cukup hati-hati menetapkan ini karena erat kaitannya dengan hajat hidup orang banyak,” kata Budi.
Komentar Budi terkait perlunya jalan tol khusus sepeda motor memicu sejumlah pihak. Salah satuya Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Bambang Soesatyo.
Adapun, sebelum memutuskan wacana ini, Menhub akan melihat aturan undang-undang. Termasuk meninjau praktik serupa di sejumlah negara. Bagi Budi, yang perlu dicatat yaitu, kendaraan roda dua ini memiliki risiko keselamatan. Terlebih, lanjutnya, 70 persen kecelakan di Indonesia saat ini, melibatkan motor.
Belum Mendesak
“Kalau (secara) pribadi, usulan ini belum mendesak. Pemerintah harus menimbang baik dan dampak-dampak masalahnya,” imbuh Budi.
Sementara, Bamsoet, sapaan akrab Bambang Soesatyo, menilai seluruh pemilik motor memiliki hak yang sama menggunakan jalan tol karena sama-sama membayar pajak.

“Sudah saatnya pemerintah memikirkan usulan ini. Apalagi pertumbuhan motor besar. Ini leih bikin tertib dan aman karena satu arah. Sebelumnya, kecelakaan banyak terjadi saat dua arah, lalu bertabrakan. Ini, kan satu arah, antre tol dan jalan beriringan,” ungkap Bamsoet, Kamis (31/1).
Ditemui terpisah, Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kemenhub Budi Setiyadi menilai, jalur tol tak cocok dengan kendaraan roda dua. Sebab, katanya, jalur tol sangat panjang dan rentan kecelakaan.
Budi menilai, regulasi bisa saja dibuat, tapi harus mengikuti ketentuan bahwa motor tidak safety bagi keselamatan di jalan raya. “Terutama di jalur panjang. Bahaya kalau untuk jarak jauh. Apalagi motor di jalur tol dan enggak ada barikade, atau enggak bisa dipisahkan jalurnya,” tukas Budi.
Bahaya di Jalur Panjang
Lain hal dengan kebijakan jalan tol khusus sepeda motor di Suramadu dan Bali yang memungkinkan untuk diterapkan. Sebab jalur pendek dan akses jalan di tol tersebut dibatasi marka jalan sehingga tak berbarengan dengan lajur mobil.
“Mobil di tol, kan kecepatan tinggi. Sekarang begini, kalau mobil, kan jalan tinggi. Tiba-tiba ada motor, pasti agak goyang soalnya terbuka, angin besar. Bahaya,” tambah Budi.
Djoko Setijowarno, pengamat transportasi dari Universitas Katolik Soegijapranata Semarang, menilai, usulan Bamsoet terkait motor masuk jalan tol terdengar tak masuk akal. Alasannya, transportasi motor tak aman untuk jalur panjang dan masuk jalur bareng kendaraan roda empat atau lebih.
“Kalau mau direalisasi, harus dibuat jalur khusus. Jalur ini enggak memanfaatkan bahu jalan dan berbarengan dengan jalan tol mobil. Ini investasi berat sebab pengembalian keuntungan juga berisiko bagi investor,” jelas Djoko.
Sementara, lanjut Djoko, jika tarif dirasa memberatkan, warga pengguna roda dua diprediksi bakal sulit menerima rencana ini. “Misalnya saja, per kilometer Rp 500. Saya pikir, sulit untuk investor. Kalau terlalu mahal juga sulit. Serba salah,” pungkasnya.
Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi, berpendapat serupa. Menurutnya, usulan dan wacana ini kontradiktif. “Aspek keselamatan berkendar motor harus diperhatikan. Jangan kan di tol, (sepeda motor) di jalan umum saja harus ekstra hati-hati,” ujarnya.
Rencana Pendukung
Pendiri dan instruktur Jakarta Defensive Driving Center (JDDC) Jusri Pulubuhu, menuturkan, pemerintah mesti menyiapkan rencana pendukung jika usulan ini terealisasi. Agar, nantinya, tidak kontraproduktif atau membahayakan pengguna jalan.
“Akan sangat berbahaya kalau pemerintah ngotot menerapkan kebijakan ini seperti di luar (negeri) yang bebasin motor jenis apa saja masuk tol. Ini enggak akan berjalan baik kalau dilakukan di Indonesia,” ucap Jusri, ditemui Selasa (29/1).

Jufri menambahkan, salah satu aturan pendukung yang mesti dipertimbangkan adalah diferensiasi surat izin mengemudi (SIM). “Aturan ini memudahkan jajaran kepolisian mengidentifikasi motor yang diizinkan masuk tol,” tukasnya.
Selain itu, lanjutnya, motor masuk tol pun harus dibedakan. Antara motor silinder besar dan silinder kecil. Silinder kecil, menurutnya, bisa masuk tol dengan jarak tempuh pendek. Sebaliknya, untuk silinder besar, bisa masuk tol jarak tempuh panjang.
Tak hanya itu. Menurutnya, pengaruh angin samping sangat bahaya untuk motor kecil. “Selain itu, pemilik motor besar harus sertifikasi selain dapat SIM yang sesuai agar bisa masuk tol,” imbuhnya.
Jusri mengimbau, pentingnya perbaikan mental berkendara warga Indonesia sebelum izin motor masuk tol terealisasi. “Berkendara tidak disiplin, ini harus diperhatikan. Kita enggak bisa membandingkan mengapa motor di luar bisa masuk tol, tapi di kita, kok enggak,” ujarnya.
Rencana kendaraan roda dua masuk jalan tol mengingkatkan lagi tentang aturan resmi yang berlaku tentang penggunaan jalan tol. Berdasarkan aturan, jalan tol hanya boleh dilintasi kendaraan minimal roda empat.
Secara istilah, jalan tol terdiri atas dua kata. Masing-masing punya arti. Jalan, merupakan ruang lalu lintas. Sedangkan tol adalah sejumlah uang atau biaya tertentu yang dibayar bagi penggunaan.
Acuan Pasal
Adapun, usulan ini mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) Tahun 2009, yang merevisi Pasal 37 PP Nomor 15 Tahun 2005 tentang Jalan Tol. Dalam Pasal 1A disebutkan, jika jalan tol bisa dilengkapi jalur khusus untuk kendaraan roda dua. Dengan catatan, jalur harus terpisah fisik dengan kendaraan roda empat.
Sesuai PP Nomor 15 Tahun 2005 Pasal 2, definisi jalan tol merupakan jalan umum yang merupakan bagian sistem jaringan jalan. Sebagai jalan nasional, penggunanya wajib membayar tarif tol.
Lebih rinci, pada penjelasan Pasal 38 Ayat 1 menyebut, jalan tol ditujukan untuk pengguna jalan kendaraan roda empat atau lebih. Seperti kecepatan, minimal kendaraan yang melintas di tol antar-kota melaju 80 kilometer per jam.
Sementara untuk jalan tol perkotaan, hanya 60 kilometer per jam. Pengendara motor juga bakal bermasalah oleh hempasan angin kendaraan lain sebab dibuat tanpa hambatan.
Terkait wacana ini, Nining Setya (25), yang sehari-hari mengendarai motor dari kediaman ke kantornya, Matraman, Jakarta Timur, menuju Slipi, Jakarta Barat, menyambut baik rencana ini. Terlebih, kondisi padat ruas jalan Ibukota, yang ia rasakan sehari-hari.
”Senang (ada wacana ini). Semoga teralisasi. Capek dan bosan menghadapi macet-macet terus. Tapi harus dilihat dulu aturannya, kira-kira bisa atau enggak-nya. Kalau tarifnya (tol) mahal, pengendara motor agak berat juga, ya,” kata Nining.
Jika betul-betul teralisasi, Jusri mengimbau, jikapun motor dibolehkan masuk tol, sebaiknya, penerapan, dilakukan seperti di Jembatan Suramadu, Surabaya; atau Jembatan Bali Mandara, Bali.
“Di sana, ada pemisah jalur kendaraan roda empat ke atas dengan roda dua. Pemisahan itu untuk aspek keamanan agar roda empat jauh lebih aman. Enggak campur-campur (dengan mobil), jadi kualitas safety lebih bagus ketimbang,” tutup Jusri.
Penulis: Erha Randy, Febriansyah, Ceppy F. Bachtiar | Editor: Ceppy F. Bachtiar
Komentar