Nalar.ID, Jakarta – Usai dilantik sebagai Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Kepala Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif pada 23 Desember 2020, Sandiaga Salahuddin Uno, menegaskan tahun 2021 harus menjadi tahun kebangkitan pariwisata dan ekonomi kreatif (parekraf).
Ia juga mengajak seluruh seluruh stake holder di sektor parekraf bekerjasama membangun narasi positif sehingga parekraf menjadi lokomotif kebangkitan ekonomi dan membuka lapangan kerja secara luas.
Dalam kesempatan terpisah, Wakil Ketua Umum Asosiasi Pariwisata Nasional, Harry Basuki Tjahaja mengungkapkan pentingnya pariwisata bagi Indonesia.
Menurutnya, banyak cara untuk mendapatkan devisa. Terlebih, dalam kondisi pandemi Covid-19. Menurut Harry, ada tiga hal sebuah negara dapat mendatangkan devisa atau investasi.
Apa saja?
Pertama, penanaman modal asing (PMA). Dalam PMA, kata Hary, uang masuk ke negara dan negara mendapatkan pajak dalam memperkerjakan orang di Indonesia.
“Tapi, kita harus ingat bahwa pertama, mereka menggunakan pabrik di sini untuk menjual produk mereka. Jadi, Indonesia adalah market bagi mereka. Otomatis, kentungan di bawa ke negara mereka,” kata Hary, dihubungi Nalar.ID, belum lama ini.
Hanya saja, kata Harry, misalnya, jika terjadi aksi demonstrasi dan sebagainya di Indonesia, bisa saja pabrik atau usaha di Indonesia tutup dan pindah ke negara lain.
“Kita juga harus bersaing dengan negara lain. Jadi, uang yang dibawa masuk, bisa juga dibawa keluar,” imbuhnya.
Pasar Modal
Poin kedua, lanjut Harry, yakni pasar modal. Diakuinya, ketika ekonomi Indonesia sedang naik, orang asing seluruh dunia bisa berinvestasi di pasar modal di Indonesia.
“Dia beli saham di Indonesia. Tapi, kita ingat, saham dibeli dan dimasukkan sementara. Jika terjadi sesuatu, misalnya sentimen pasar, jadi uang yang mereka investasikan bisa dicairkan. Mereka bisa jual dan beli lagi saham-saham yang ada di negara lain,” jelasnya.
Ketiga, pariwisata. Menurut Harry, dari ketiga poin di atas, sektor pariwisata diakuinya sangat penting.
“Karena (pariwisata) yang akan membawa orang dari seluruh dunia. Mereka membawa uang, masuk ke Indo, dan habiskan di Indonesia. Airlane, hotel, makanan, dan sebagainya. Mereka pulang bawa pengalaman. Jadi, uang yang mereka bawa ke Indo dan stay di Indonesia. Tidak mereka bawa kembali (ke negaranya masing-masing),” ungkapnya.
Kawasan wisata Mandalika. NALAR/Dok. Kemenparekraf
Ia menyontohkan, satu orang membawa uang 1.000 dolar AS, atau Rp 15 juta ke Indonesia. Kemudian, uang tersebut dikali 10 juta orang, berapa uang yang masuk ke Indonesia tanpa harus merasa kuatir mereka kembali membawa pulang uangnya.
Untuk itu, lanjutnya, negara harus memprioritaskan pariwisata sebagai bisnis usaha utama. “Harus mengerti bahwa pariwisiata bisa mendatangkan devisa. Bagaimana turis-turis datang ke Indonesia,” imbuhnya.
Diluar itu, sambungnya, ada satu hal ekstra, yaitu urban tourism. Artinya, mereka adalah orang asing yang datang ke Indonesia. “Mereka stay cukup lama, dan di kota mereka biasanya punya properti atau apartemen,” tukasnya.
Investasi Properti
Sayangnya, menurut Harry, masyarakat Indonesia masih memiliki kekuatiran jika orang asing membeli properti di Indonesia. Rasa kuatir ini, menurut Harry, kebablasan dan tidak beralasan.
“Begini. Kalau kita punya uang Rp 1 miliar. Uang ini kita mau beli properti, seperti di Venezuela. Pertanyaan saya, siapa yang lebih takut? Kita yang punya Rp 1 miliar atau Venezuela yang kita mau beli properti di sana? Kita enggak tahu Venezuela seperti apa. Kita taruh uang Rp 1 miliar, enggak tahu pemerintahan di sana seperti apa. Kita takut investasi di sana, habis. Sekarang kita mikirin bagaimana negara lain atau turis asing yang mau beli properti di Indonesia. Siapa yang takut? Kita atau yang punya uang?,” jelasnya.
Itulah mengapa, lanjut Harry, pihaknya mendukung upaya dan niat baik orang asing membeli properti, seperti apartmen di Indonesia.
“Tentu, kita harus ikut aturan-aturan yang benar. Perpajakan terkontrol, visa masuk, dan sistem regulasi jelas. Jangan sampai nanti orang asing beli apartmen jadi bumerang buat kita,” ujarnya.
Bayangkan, sambungnya, turis datang ke Indonesia. Mereka spending uang membeli properti.
“Berapa banyak yang kita dapat. Jadi, ini yang ingin saya sampaikan bahwa properti dan apartmen, terutama, harus kita buka agar orang luar bisa beli. Supaya keuntungan lebih besar,” tambahnya.
Ia menyontohkan Singapura. Sebagai negara kecil namun berani menjual properti apartmen kepad orang asing. Disusul negara-negara lain seperti Malaysia, Filipina, Australia, hingga Kamboja.
”Mereka enggak pernah kuatir bahwa negaranya akan dikuasai orang asing. Mengapa? Paling penting adalah sistem dan aturan jelas. Sehingga sektor properti bisa menjadi sektor devisa bagi negara kita,” tutupnya.
Penulis: Febriansyah | Editor: Ceppy F. Bachtiar
Komentar