*Oleh: Joko Intarto
Nalar.ID – Ujang Koswara, nama panjangnya. Singkat, biasa dipanggil Uko. Alumni ITB (Institut Teknologi Bandung) itu pernah mengelola pabrik plastik. Menjadi pemasok botol kemasan minyak pelumas di grup Astra.
Sayang, Uko jatuh di puncak kesuksesan. Ia salah strategi: mengembangkan pabrik dengan modal utang bank berbunga tinggi. Saat yang sama, ia mulai berkenalan dengan narkoba!
Kesadaran memang sering datang belakangan. Begitu pun Uko. Ia baru tersadar setelah bisnisnya ambruk. Hidupnya pun hancur gara-gara narkoba. Uko mencoba bangkit. Membuat lampu hemat energi kreasi sendiri.
Ide pembuatan lampu hemat itu datang dari ibunya. Sang ibu menetap di sebuah desa di Kabupaten Garut, Jawa Barat.
Sang ibu meminta Uko memikirkan cara agar ada lampu listrik di desa. Pasalnya, banyak ponakan harus belajar menghadapi ebtanas (evaluasi hasil belajar tahap nasional).
Uko memang insiyur ITB, tetapi jurusan Teknik Kimia. Tidak pernah mendalami elektronika. Walau demikian, Uko berjanji mencarikan solusi. Demi menyenangkan hati ibu.
Ada beberapa model lampu hemat energi yang digunakan. Pertama, listrik tenaga sinar matahari. Ternyata solar cell-nya mengundang masalah. Ditaruh di halaman, hilang dicuri orang. Di atas atap, repot kalau membersihkan.
Ujang lalu mencari solusi baru. Listrik dari kincir air. Mikro hidro. Ini pun ada masalah. Musim kemarau, listrik mati. Saat puncak musim hujan, kincirnya lenyap. Diterjang banjir bandang.
Akhirnya Uko menemukan solusi jitu: lampu LED (bahasa Inggris: light-emitting diode). Sumber listrik dari aki (akumulator, accu). Sekali setrum, aki dapat menerangi rumah selama sebulan!
Dari pengalaman itu, Uko mengembangkan menjadi sebuah solusi bagi satu perkampungan. Satu rumah mendapat beberapa unit lampu hemat energi. Setiap kampung dilayani satu alat setrum aki. Sebulan sekali masyarakat menerima arus aki untuk menerangi rumahnya hingga sebulan kedepan.
Lampu LED berbeda dengan bohlam (lampur pijar). Lampu LED ini bisa dirakit siapa saja dengan peralatan sederhana. Sementara, bohlam harus di produksi pabrik dengan mesin-mesin modern.
Uko lalu mengajak beberapa pengasuh pondok pesantren untuk mendirikan unit usaha perakitan lampu LED. Selain pesantren, ia merekrut bekas narapidana dan mantan pecandu narkoba sebagai teknisi.
Untuk memasarkan produk lampu itu, Uko bekerjasama dengan lembaga amil zakat dan organisasi sosial untuk menyalurkan dana CSR (corporate social responsibility) melalui program elektrivikasi desa terpencil yang tidak terlayani PLN (Perusahaan Listrik Negara). Nama programnya: ‘Sedekah Cahaya’.
Jadi, perusahaan itu yang membiayai. Sementara, pesantren mengerjakan produksi lampu. Uko dan teknisi memasang di lokasi program. Dibantu aparat TNI (Tentara Nasional Indonesia) di lapangan.
Untuk program elektrivikasi rumah miskin, prestasi Uko memang tak tertandingi. Bahkan di tingkat Asia. Sudah lebih dari 300 ribu rumah menerima ‘Sedekah Cahaya’ dari berbagai perusahaan dan dermawan di seluruh Indonesia.
Saya sudah lama ingin bertemu Uko. Tapi selalu gagal. Ada saja masalahnya. Awal tahun 2019, saya baru berjumpa. Itu pun tak sengaja. Saat sama-sama ngopi di warung milik A Siang di Pontianak, Kalimantan Barat.
Hari ini saya mengundang Uko bergabung menjadi mentor sociopreneur di sekolah online. Eh, tiada sangka, Uko langsung setuju membuka kelas khusus.
Anda tertarik belajar sociopreneur? Gabung di sini yuk!
*Joko Intarto, praktisi webinar dan jasa seminar online www.jagaters.id.
Ini adalah tulisan kiriman dari pembaca Nalar. Isi tulisan di luar tanggung jawab redaksi. Ingin mengirim tulisan Anda? Hubungi redaksi.
Komentar