Nalar.ID

Setia Melawan Pembajakan

Nalar.ID, Jakarta – Masih ingat kejadian 2 Mei 2017? Saat itu, sejumlah artis penyanyi pop dan dangdut, menggeruduk Bareskrim Mabes Polri di Gambir, Jakarta. Mereka, para artis dan musisi, dari korporasi rekaman Nagaswara Music Publishing & Entertainment.

Kedatangan mereka bagian dari melaporkan karya pembajakan produk karya cipta lagu. Produk yang mereka laporkan kala itu adalah karya A.M. Hendropriyono. Hendro, adalah Ketua PAPPRI atau Persatuan Artis Pencipta Lagu dan Penyanyi Republik Indonesia), yang dinyanyikan Delon dan Siti Badriah berjudul Cinta Tak Harus Memiliki.

Rupanya, lagu itu laku keras di Glodok, sentra penjualan elektronik di Jakarta Barat. Saat itu, CEO Nagaswara, Rahayu Kertawiguna, melaporkan lima perusahaan pembajakan. Diantaranya, PT. Visindo SP, PT. Rajawali, PT. Cipta Prima Dharma, PT. Sinar Mulia Sejati, dan Cakra Perkasa Selaras. Mereka diadukan dengan Pasal 113 Ayat (3 dan 4) atau 117 UU No.28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, sesuai laporan polisi nomor LP/453/V/2017/Bareskrim.

Rahayu dan jajaran artis yang ia naungi, masih geram oleh ulah pembajakan, sampai saat ini. Ia meminta, pelanggar dan pelaku pembajakan kena ganjar, dan semua pabrik produksi kaset atau CD pembajakan, segera ditutup.

Nagaswara Pembajakan - nalar.id
Berkas Laporan ke Bareskrim Mabes Polri, Jakarta, 2 Mei 2017. (Foto: Dok. Nagaswara)

Rahayu, memapakarkan, bagaimana pembajakan produk karya mampu membunuh kreatifitas anak bangsa dan merugikan negara. Berikut penuturan Rahayu Kertawiguna kepada nalar.ID, dalam kesempatan berbeda, belum lama ini:

Bagaimana kondisi pembajakan saat ini?

Masih dialami (pembajakan), ya. Kita mengalami metamorfosis, dari RBT (ring back tone), fisik lalu ke digital. Sekarang ke e-commerce. Musik berintegrasi terhadap perkembangan-perkembangan teknologi seperti itu. Kurun lima tahun ini, banyak catatan buat saya yaitu pemberantasan pembajakan. Itu akar masalahnya.

Salah siapa?

Keinginan konsumen terhadap hal yang gratis. Salah satunya download gratis. Mendapatkan produk dengan cara yang murah. Maka itu, label rekaman harus mendekatkan diri ke konsumen, bagaimana buat pasar itu terbentuk pasar baru. Misalnya, membuat aplikasi musik yang sederhana tapi bisa dijangkau semua kalangan. Lalu pengembangan WhatsApps, misalnya ada RBT di WA. Kemudian, banyak terobosan-terobosan baru yang bisa digodok lagi bareng telco (operator telekomunikasi) sebagai pemegang terkait dan beberapa musisi yang punya daya jual.

Dampak pembajakan, bagaimana tingkat kerugian yang perusahaan Anda rasakan?

Ini peralihan dan globalisasi. Bagaimana menghadapi era globalisasi yang enggak didukung kekuatan pasar yang tidak didukung masyarakatnya sendiri. Masyarakat maunya serba gratis. Maka, duduk bareng dengan stakeholder dan telco, ciptakan sesuatu yang bisa dinikmati masyarakat. Gratis tapi ada feed back baik buat perusahaan. Yang saya lihat, ini banyak dilakukan, misalnya ada iklan ditempatkan di situs porno. Tapi itu tetap dibiarkan karena ada bagian buat orang-orang tertentu yang main di sana. Seharusnya, kenapa mereka tidak kerja sama dengan kita yang sudah resmi.

Nilai kerugian yang dirasakan?

Ya, nilai ekonomi karena adanya gratis itu. Nilai kerugian sempat Menurun 40 persen. Makin kesini, setelah RBT jatuh, ya, habis total. Sempat naik 20 persen. Kesini masih 60 persen rugi dan 40 persen keuntungan.

Ditengah persoalan ini, bagaimana strategi Anda mengejar segmen pasar?

Kami masih banyak dinikmati pasar. Tetap, misal, pasar-pasar dance dangdut, kita masih jaga itu.

Kedepan, kolaborasi jaz plus melayu. Background jazz tp melayu. Sekarang, pasar lagi jenuh. Itu-itu saja (genre-nya). Sekarang banyak musik yang dibungkus. Kalau dulu, kan, memaknai musik yang benar-benar lurus seperti pop. Sekarang enggak seperti itu. Di barat, ada kolaborasi dengan kemasan beda. Siapa yang berani duluan buka peluang, dia yang berani.

Potensi daerah mana saja?

Kalimantan, dekat perbatasan melayu. Jawa, kedua. Sumatera, tiga. Kalau band, lagi coba band melayu, dengan musik lebih apik.

Nagaswara, label yang banyak mencetak artis. Tak semua sukses, ada beberapa naik daun. Mengapa seberani itu?

Kalau sekarang enggak seperti dulu, sporadis. Itu pas tahun 2011, sampeai 300-an (artis). Sekarang, paling banyak 50 – 60 artis. Band Wali masih lama kami, dari 2006.

Saran untuk para pembajak?

Pembajakan, walau sekarang sudah mulai berkurang tren-nya. Sekarang digital, download gratis. saya berharap, industri ini bisa sehat kembali dan ada pembagian royalti.

Penulis:Erha Editor: Radinka Ezar

Komentar

Ikuti Kami

Kami nalar, punya alasan informasi tak ditelan mentah. Mari, sama-sama bernalar.

Nalar.ID | Cerdas Menginspirasi