Nalar.ID, Jakarta – Akhir-akhir ini, lonjakan kasus Covid-19 membuat kebutuhan pasokan oksigen dan stok obat-obatan naik pesat. Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan (Kemenkes) bekerja sama dengan beberapa pihak untuk memenuhi kebutuhan itu.
“Dari sisi oksigen, kami update ke kabinet bahwa kebutuhan oksigen meningkat sangat pesat. Dari sebelumnya 400 ton per hari naik, sekarang hampir 2.000 ton per hari,” ujar Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, dalam rapat virtual terbatas bersama Presiden Jokowi, Jumat, 16 Juli 2021.
Guna memenuhi kebutuhan oksigen perawatan pasien Covid-19, Kemenkes melakukan sejumlah upaya. Antara lain bekerja sama dengan Kementerian Perindustrian untuk menggunakan kelebihan kapasitas oksigen dari berbagai pabrik dan industri di dalam negeri.
“Kami sudah memberi strategi pemenuhan suplai dengan cara menggunakan excess capacity dari pabrik-parik atau industri-industri dalam negeri bekerja sama dengan Kementerian Perindustrian. Ada sekitar 240-250 ton per hari excess capacity yang bisa kami gunakan dari industri-industri dalam negeri,” jelasnya.
Selanjutnya, Kemenkes juga berupaya membangun strategi penggunaan oksigen konsentrator yang dapat digunakan dengan mudah di rumah atau rumah sakit untuk kebutuhan isolasi pasien Covid-19.
“Ini adalah alat kecil yang membutuhkan listrik saja. Kita bisa pasang di rumah maupun tempat tidur rumah sakit untuk menyuplai oksigen dengan kapasitas 10 liter atau 5 liter per menit sehingga cukup untuk tempat tidur isolasi,” ujarnya.
30 Ribu Oksigen Konsentrator
Untuk mendukung strategi tersebut, pemerintah berencana untuk membeli sekitar 20 hingga 30 ribu oksigen konsentrator untuk rumah sakit dan masyarakat yang membutuhkan.
Sementara itu, terkait dengan obat-obatan, Kemenkes sudah mengidentifikasi bahwa untuk obat-obat yang ada pabriknya di dalam negeri relatif masih terkontrol suplainya. Namun, Menkes menyadari bahwa ada obat-obatan impor yang memang secara global suplainya juga sangat ketat.
Untuk itu, Kemenkes bekerja sama dengan Kementerian Luar Negeri untuk mendapatkan obat-obatan khusus untuk pasien Covid-19 yang diimpor dari luar negeri. Serta suplainya sangat terbatas secara global.
“Pertama, obat Remdesivir yang kami impor dari India, Pakistan, dan China. Itu sekarang solusinya sudah negosiasi dengan Ibu Menlu dibantu agar India bisa membuka kembali keran ekspornya. Sudah masuk 50 ribu vial minggu ini. Nantinya bertahap 50 ribu vial setiap minggu,” jelas Budi.
Selain itu, pemerintah juga berupaya mencari jenis obat-obatan alternatif sebagai pengganti jenis obat yang sulit didapat. Seperti Remdesivir dan Actemra. Terkait hal itu, Menkes menyebut pemerintah telah membuka akses ke Tiongkok dan Amerika Serikat untuk mendatangkan obat pengganti.
“Kami juga sudah bicara dengan CEO Roche dan memang diakui ada global suplai yang ketat sehingga dengan stok yang ada sekarang masih jauh dari yang kita butuhkan. Kita mencari beberapa alternatif obat yang mirip dengan produk yang mirip dari produk Actemra ini dari Amerika Serikat,” jelasnya.
Selain kedua jenis obat itu, Kemenkes dengan Kemenlu juga terus melakukan diskusi dengan pemerintah Tiongkok untuk mendapatkan obat-obatan jenis lain yang diproduksi di sana seperti Gamaras.
“Kita juga mencari obat yang namanya Gamaras, itu merek dagang dari kategori obat yang dikenal dengan grup IVIG (intravenous immunoglobulin therapy) ini produksinya ada di China, kita juga membutuhkan cukup banyak,” ujar Budi.
Penulis: Febriansyah | Editor: Ceppy F. Bachtiar
Komentar