Nalar.ID

Tahapan Trauma Healing Anak Pasca-Bencana, Ini Kata Ketua YPPA

Nalar.ID, Jakarta- Sepekan sudah, bencana alam gempa bumi dan tsunami di Donggala dan Palu, Sulawesi Tengah, berlangsung. Selain orang dewasa, anak-anak paling rentan mengalami traumatik pasca-bencana.

Ketua YPPA (Yayasan Perlindungan Perempuan dan Anak) Raden Siti Fitrie Kirana, memaparkan sejumlah tahapan trauma healing (pemulihan trauma) bencana alam, khususnya bagi anak-anak guna memulihkan psikis dan kejiwaan. Wawancara berlangsung secara tertulis, Jumat (5/10). Berikut penuturan kepada Nalar.ID.

Bagaimana mengatasi traumatik pasca-bencana kepada anak-anak?

Trauma pada anak tak mudah diatasi. Mereka harus diperhatikan secara khusus agar trauma tak berkelanjutan. Ini dapat mengganggu perkembangan, yang terbawa sampai ia dewasa. Trauma anak didapat dalam bentuk fisik dan psikologis. Trauma psikologis menyangkut pengalaman emosional menyakitkan, mengejutkan, menegangkan, bahkan terkadang mengancam jiwa si anak. Pengalaman ini bisa terjadi saat bencana alam, kekerasan fisik, kekerasan seksual, dan terorisme.

Trauma pada anak-anak bisa memengaruhi perkembangan normal otak anak. Termasuk ukuran bagian otak yang membantu mengontrol reaksi anak terhadap bahaya. Pada usia sekolah, trauma bisa menunda kemampuan anak bereaksi terhadap bahaya, seperti refleks kejut.

Perubahan biologis dalam tubuh akibat trauma bisa memengaruhi cara anak dan remaja menanggapi bahaya dan tekanan masa depan. Termasuk kesehatan jangka panjang. Tak hanya berdampak secara biologis, tapi emosional karena masa ini, emosional anak tahap perkembangan.

Ade Fitrie Kirana - nalar.id
Ketua Yayasan Perlindungan Perempuan dan Anak (YPPA) Raden Siti Fitrie Kirana. (Nalar.id/Dok.Pribadi)

Masa anak sedang belajar mengenal emosi dan menangani emosi mereka dengan bantuan orangtua maupun pengasuh. Ketika trauma terjadi saat ini, anak sulit mengenali emosi mereka. Ini membuat anak emosi berlebihan. Anak lebih cenderung menyembunyikan perasaan mereka.

Bagaimana tanda-tandanya?

Berbeda-beda, tergantung usia. Di bawah usia 5 tahun menunjukkan tanda seperti ketakutan, terus ‘menempel’ pada orangtua, menangis atau berteriak, merengek atau gemetar, diam, dan takut gelap. Sementara, usia 6-11 tahun, menunjukkan tanda seperti mengisolasi diri, sangat pendiam, mimpi buruk atau masalah tidur, tak ingin tidur, mudah marah dan berlebihan, tak konsentrasi di sekolah, mengajak teman berkelahi, dan kehilangan minat.

Yang harus diperhatikan orang tua?

Pertama, ajak anak melakukan kegiatan rutin bersama. Seperti makan bersama, nonton televisi, dan tidur. Lakukan kegiatan sehari-hari ini seperti biasa. Ini memungkinkan anak merasa lebih aman dan terkontrol. Biarkan anak tinggal dengan orang yang akrab atau dekat dengannya, seperti orangtua dan keluarga.

Kedua, anak butuh perhatian khusus orangtua. Sesudah alami trauma, anak cenderung lebih tergantung pada orangtua. Ibu harus menyediakan waktu bagi anak. Beri pelukan agar merasa aman dan nyaman. Jika mereka takut tidur, kita bisa menyalakan lampu kamar anak atau biarkan anak tidur bersama.

Ketiga, jauhkan hal-hal yang berhubungan dengan penyebab trauma. Caranya, tidak menonton tayangan peristiwa serupa yang membuat trauma. Ini membuat trauma anak lebih buruk. Anak bisa mengingat kembali apa yang terjadi. Membuat anak takut dan stres.

Keempat, pahami reaksi anak terhadap trauma. Cara ini membantu anak pulih dari trauma. Anak mungkin bereaksi dengan cara sangat sedih dan marah, ketakutan, tidak dapat bicara, dan berperilaku seolah-olah tak pernah terjadi hal menyakitkan terhadap dirinya. Beri anak pengertian bahwa perasaan sedih dan ketakutan adalah perasaan wajar mereka rasakan saat ini.

Kelima, bicara pada anak. Dengarkan cerita dan pahami perasaan mereka. Beri jawaban jujur dan mudah dimengerti anak jika ia bertanya. Jika anak terus bertanya pertanyaan serupa, artinya ia bingung dan mencoba memahami apa yang terjadi. Lebih baik memberi tahu yang terjadi. Beri mereka fakta tapi tanpa detail yang tidak perlu. Ini membantu mencegah imajinasi mereka yang berlebihan tentang bencana alam. Dorong mereka mengekspresikan emosi. Menyatakan kalau dirinya takut dan sedih adalah cara anak menyesuaikan diri atas apa yang terjadi. Tak perlu marahi anak yang ketakutan ketika terjadi gempa, ya.

Keenam, jaga komunikasi tetap terbuka. Ajukan pertanyaan untuk cari tahu apa yang sedang anak pikirkan soal bencana itu. Ungkapkan apa yang dialami sama orang dewasa ketika berada di situasi penuh tekanan. Cara ini mencegah anak-anak menyalahkan diri sendiri dan merasa tertekan. Gunakan kata-kata yang membuat anak nyaman, bukan yang membuat anak takut. Bantu anak mengutarakan apa yang mereka rasakan.

Ketujuh, dukung anak dan beri rasa nyaman. Temani setiap saat ia butuh orangtuanya. Beri keyakinan pada anak bahwa ia bisa melewati hal ini. Katakan juga Anda sangat menyayanginya.

Kedelapan, lakukan aktivitas seperti biasa. Dorong mereka terus beraktivitas seperti bermain, mengeksplorasi, dan tertawa. Anak-anak lebih mudah mengalihkan pikiran dari trauma ketimbang orang dewasa.

Kesembilan, luangkan waktu bersama. Serta membangun ‘intimacy’ dengan anak. Misalnya rekreasi agar situasi bencana alam terlewati. Ini penting karena kesenangan adalah kunci penting penyembuhan trauma. Waktu bersama adalah momen penting agar ia merasa aman dan bisa mengungkapkan yang mereka simpan dalam hati.

Metode penanganan dan pemulihan korban bencana alam?

Penanganan trauma meliputi terapi obat dan psikis. Terapi obat, umumnya adalah obat-obat antidepresan. Penggunaan obat ini harus pengawasan dokter karena efek samping dan kecocokan respon obat terhadap gejala-gejala gangguannya.

Sedangkan terapi psikis bisa dilakukan dalam dua bentuk. Yaitu psikoterapi individual dan kelompok. Pada bencana yang korbannya besar seperti di Donggala dan Palu, psikoterapi kelompok lebih direkomendasikan karena kelebihannya lebih efektif. Dengan mengumpulkan korban untuk terapi bersama, akan terjadi komunikasi dan interaksi sosial lebih erat.

Konkritnya?

Cari dukungan dan situasi yang nyaman. Ketika dalam kondisi seperti itu, hal pertama Anda butuhkan adalah lingkungan nyaman dan mendukung. Anda butuh menceritakan masalah pada orang-orang yang Anda percaya untuk dapat dukungan mental. Berada di lingkungan nyaman dan Anda percaya, membuat diri merasa aman.

Minimalkan paparan media. Menonton berita yang menampilkan kejadian yang jadi sumber trauma Anda justru membuat perasaan itu tak hilang dan akan terus kembali teringat.

Kenali dan terima perasaan Anda. Setelah kejadian traumatik, biasanya campur perasaan dan emosi. Perasaan yang muncul, sebaiknya jangan dihindari melainkan kenali dan terima untuk membuat diri lebih kuat.

Jangan melakukan hal penyebab stres. Ketika trauma, jangan lakukan berbagai hal berat yang butuh banyak pikiran. Ini menyebabkan stres dan mencegah penyembuhan trauma. Lakukan hal santai, menyenangkan, dan menenangkan agar pikiran lebih tenang.

Biasanya, trauma healing memakan proses pemulihan berapa hari?

Tergantung korban karena kondisi ini akan berbeda-beda tergantung kedalaman trauma itu.

Ada rencana mengirim tim atau relawan YPPA ke lokasi bencana di Palu?

Kami sedang merancang agar segera ada yang berangkat. Doakan segera. Insha Allah, untuk sementara kami open donasi untuk dibawa ke Palu. Paling telat minggu depan akan segera diberangkatkan.

Penulis: Febriansyah Editor: Ceppy Febrinika B.

Komentar

Ikuti Kami

Kami nalar, punya alasan informasi tak ditelan mentah. Mari, sama-sama bernalar.

Nalar.ID | Cerdas Menginspirasi