Nalar.ID

Tarik Ulur Tarif Transportasi Online

Kementerian Perhubungan membuka peluang penyesuaian opsi terhadap ojek online. Termasuk mengkaji aturan tarif setiap provinsi.

*****

Nalar.ID, Jakarta Ribuan ojek online (ojol) yang tergabung dalam Kelompok Roda Dua (Garda) memadati ruas jalan Medan Merdeka, Jakarta Pusat, Rabu (15/1/2020) lalu. Kehadiran mereka untuk menyampaikan aspirasi kepada pemerintah, melalui Kementerian Perhubungan (Kemenhub).

Aksi itu dimulai dengan long march dari Monumen Nasional ke Kantor Kemenhub. Kemudian berlanjut ke depan Istana Negara, tak jauh dari dua tempat tersebut. “Ayo, kita maju bersama kawan-kawan. Payung hukum dan legalitas adalah tujuan kita,” teriak, seorang orator di mobil komando.

Dalam orasinya, para ojol meminta agar aplikator tidak memecah belah para driver ojol. Sebagai mitra, para ojol meminta ketegasan aturan sebagai mitra.

“Kita jangan mau diperas aplikator. Kita pekerja, bukan jongos,” sahut orator.

Tak lama, atau pukul 14.30 WIB, sebanyak 10 perwakilan dari driver ojol memasuki Gedung Kemenhub atas undangan pihak Kemenhub. Dalam aspirasinya tersebut, Ketua Presidium Gabungan Aksi Roda Dua (Garda) Igun Wicaksono, menuntut tiga hal kepada pemerintah.

Pertama, payung hukum. Kedua, permintaan penutupan pendaftaran calon pengemudi di kawasan padat, terutama di wilayah Jawa dan Kalimat. Ketiga, tuntutan penyesuaian tarif, hingga ojol asal Rusia, Maxim, yang dianggap melanggar batas tarif zona.

Tarif yang dimaksud, yakni menghapus zona tarif dan diganti tarif per-provinsi. Tuntutan tarif itu melanjutkan tuntutan mereka tahun 2018, yakni payung hukum perlindungan kepada ojol dan penutupan mitra driver di kawasan padat.  Mereka juga meminta agar pemerintah bisa melindungi status mitra para driver. Menurut para ojol, mereka bukan hanya pembantu aplikator, namun adalah pekerja.

Dari sejumlah tuntutan, Dirjen Perhubungan Darat Kemenhub, Budi Setiyadi, menyatakan sebagian tuntutan para ojol masih tahap proses. “Sebagian lagi didalami dan ditinjau ulang. Ada tiga masalah yang mereka ajukan ke kami, yakni legalitas hukum, kemitraan, dan tarif,” kata Budi, dalam keterangannya, pekan lalu.

Untuk penyesuaian tarif, kata Budi Setiyadi, wewenang ini dikembalikan kepada kepala daerah masing-masing. Alasan Budi masuk akal, sebab kondisi geografis di Indonesia berbeda dan macam-macam.

Permen 12/2019

Budi menambahkan, pembahasan tarif masih proses dan negosiasi. Artinya, proses dan ketentuan dalam Peraturan Menteri Perhubungan No. 12 Tahun 2019 akan semakin panjang, karena harus melibatkan banyak pihak, seperti asosiasi ojol yang lainnya. Maka itu, Budi meminta para asosiasi ojol agar kompak dan solid.

“Jadi, setelah perumusan nanti mereka tinggal dateng ke saya lalu memberikan usulan tarif,” tukas Budi.

Masalah berikutnya, yaitu legalitas hukum. Terkait ini, Kemenhub siap menjembatani pihak ojol atau asosiasinya untuk memberikan aspirasinya ke Komisi V DPR. Budi menyebut, di Komisi V DPR, sudah ada dua peraturan yang sudah masuk prioritas Prolegnas (program legislasi nasional). Salah satunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang telah masuk Prolegnas dan akan dilakukan revisi selama masa periode parlemen saat ini.

Terkait kemitraan, sambung Budi, pihaknya telah bertemu dengan Sekretaris Jenderal Kementerian Tenaga Kerja beberapa waktu lalu. Pertemuan itu membahas regulasi kemitraan. Pasalnya, ia melihat bahwa ojol butuh posisi kuat sebagai pengemudi.

Namun, Budi justru mengungkapkan, selama ia mengundang Kementerian Ketenagakerjaan, hingga kini, belum ada peraturan menteri tentang kemitraan yang muncul. “Karena masih bingung mengenai hubungan industrial aplikator dengan mitra driver. Kalau hubungan kemitraan berarti harus ada MoU,” tukas Budi.

Sementara, tentang penutupan pendaftaran mitra pengemudi dan Maxim yang dinilai melanggar kesetaraan tarif, pihaknya menilai jika itu bukan kewajiban Kemenhub, melainkan dari pihak aplikator. Soal Maxim, pihak Kemenhub sudah melayangkan surat pada 30 Desember 2019 ke Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo). Isinya, tercantum tentang aplikator baru yang tak sesuai dengan peraturan di Kemenhub.

Budi mencatat, tuntutan para ojol agar Maxim ditutup oleh Kemenhub merupakan salah alamat. Padahal yang memiliki wewenang penutupan adalah dari Kominfo. Dalam kesempatan terpisah, Menhub Budi Karya Sumadi menuturkan, pihaknya akan kembali mengkaji aturan mengenai tarif transportasi online yang kini telah diberlakukan.

“Akan dikaji kembali. Bisa jadi ada excessexcess yang tidak konsisten dan memuaskan para pihak dan lainnya,” ujar Budi, di Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis (16/1/2020).

Aturan Setiap Provinsi

Budi Karya Sumadi tidak keberatan bila aturan tarif nanti diatur oleh pemerintah daerah sesuai ketetapan provinsi masing-masing. Hanya saja, lanjut Budi, harus dikaji lebih mendalam, karena perekonomian setiap daerah berbeda-beda. “Kemampuan setiap daerah berbeda-beda perekonomiannya,” jelasnya.

Sebagai regulator, Budi menilai tuntutan para ojol disebabkan oleh perbedaan persepsi aplikator dengan pengemudi. Khususnya besaran tarif. Ketentuan ini ditetapkan dalam Keputusan Menteri Perhubungan KP 348 Tahun 2019 Pedoman Perhitungan Biaya Jasa Penggunaan Sepeda Motor yang Digunakan untuk Kepentingan Masyarakat yang Dilakukan dengan Aplikasi yang harus di evaluasi.

Termasuk meminta regulator menghapus zona tarif dalam Permenhub, dan diganti dengan tarif per provinsi. Para ojol mengusulkan tarif itu diatur oleh gubernur setiap daerah. Selanjutnya, gubernur akan menyerahkan ke pemda kabupaten atau kota untuk menyesuaikan kondisi di masing-masing daerah. Budi pun akan menindaklanjuti tuntutan para ojol.

“Peran kami menjembatani kepentingan aplikator dan pengemudi agar ada ruang diskusi dan titik temu,” kata Budi Karya Sumadi.

Rencananya payung hukum untuk perlindungan ojol akan dibahas lebih jauh dalam rapat dengar pendapat di DPR pada 9 Februari 2020 mendatang. Diketahui, saat ini pemberlakuan tarif ojol terbagi dalam tiga sistem zonasi. Zonasi ini berlaku sejak 1 Mei 2019 lalu. Zona I, meliputi Jawa, Sumatera dan Bali. Tarif batas bawah Rp1.800 per km, tarif batas atas Rp2.300 per km. Biaya minimum sekali perjalanan Rp7.000-Rp10.000 per 4 km.

Sementara Zona II: Jabodetabek, dengan batas bawah Rp2.000 per km dan tarif batas Rp2.500 per km. Biaya minimum Rp8.000-Rp 10.000 per 4 km. Terakhir, Zona III:  Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara, dan Papua dengan batas bawah Rp2.100 per km dan batas atas Rp2.600 per km. Serta biaya jasa minimal Rp7.000-Rp10.000 per 4 km.

Adapun, jika nanti penyesuaian tarif per provinsi diberlakukan, maka Ditjen Perhubungan Darat Kemenhub hanya perlu menetapkan regulasi. Seperti mengenai norma, standar, prosedur, dan kriteria (NSPK). Istilah lainnya, yakni dasar penetapan tarif ojol per provinsi.

“Indikator ditentukan oleh Dishub. Kalau besaran tarif diatur oleh gubernur. Akan ada penyesuaian tarif transportasi online mulai akhir Januari ini,” ujar Budi Karya Sumadi, berjanji.

Menanggapi tuntutan para driver, pihak Grab siap berkoordinasi dan membahas dengan Kemenhub. Dalam keterangannya, Senin (20/1/2020), pihak Grab, melalui Head of Public Affairs Grab Indonesia Tri Sukma Anreianno, masih menunggu koordinasi resmi dengan Kemenhub untuk kebijakan pemerintah mengenai aturan ojol.  “Pemahaman kami, ada sejumlah faktor baru yang bisa memengaruhi kebijakan pemerintah mengenai regulasi (ojol),” kata Tri Sukma Anreianno.

Pihaknya percaya, pemerintah mengerti terhadap berbagai variabel itu dan menjadikannya bahan pertimbangan dalam merumuskan kebijakan terbaik dalam ekosistem bisnis transportasi online.

Penulis: Ceppy F. Bachtiar | Editor: Ceppy F. Bachtiar

Komentar

Ikuti Kami

Kami nalar, punya alasan informasi tak ditelan mentah. Mari, sama-sama bernalar.

Nalar.ID | Cerdas Menginspirasi