Nalar.ID – Dalam situasi dan pusaran konflik perang, sejumlah anak merupakan terdampak secara sosial dan psikologis. Tidak sedikit orang menaruh simpati kepada mereka. Beberapa pula acuh pada kelangsungan hidup anak-anak itu.
Melalui film The Power of Love 2: Hayya, penonton dan masyarakat diajak untuk peduli terhadap nasib anak-anak korban perang.
Memilih set lokasi syuting di Tepi Barat Palestina, film lanjutan 212, The Power of Love (2017) ini menggiring penonton merasakan situasi anak-anak di pengungsian korban perang.
Lepas Bully dan Takut
Dalam sejarahnya, kata ustaz Erick, produser eksekutif film The Power of Love 2: Hayya, bangsa Palestina adalah bangsa pertama yang mengakui kedaulatan Republik Indonesia.
“Kita harus lepas dari ketakutan dan bully. Kami berharap, semua peduli terhadap manusia lainnya,” ujar Erick, dalam jumpa pers di XXI Epicentrum, Kuningan, Jakarta, Minggu (8/9).
Erick menambahkan, film ini bermuatan tentang misi kemanusiaan. Tak lebih dari itu. Selain itu, pihaknya ingin mendorong film bermuatan positif ini sebagai alternatif tontonan.
Hal senada disampaikan oleh Oki Setiana Dewi, produser eksekutif lain di film ini. Ia mengatakan, film ini membawa pesan kemanusiaan untuk generasi muda atau milenial. “Kalau ceramah, kan mungkin (generasi milenial) bosan. Ini alternatif. Lebih mudah diterima,” kata Oki.
100 Persen Penjualan
Film produksi Warna Pictures garapan sutradara Jastis Arimba ini didukung oleh sejumlah lembaga kemanusiaan. Seperti Aman Palestin, INH For Humanity, dan Rumah Zakat. Selain itu, film ini hasil adaptasi novel berjudul serupa karangan penulis Helvy Tiana Rosa.
Menurut Helvy, film ini bermuatan idealisme dan tentang jihad budaya. Sekadar informasi, penjualan novel ini, 100 persen penjualan untuk Palestina.
Film ini dibintangi oleh Fauzi Baadilah, Adhin Abdul Hakim, Meyda Sefira, Ria Ricis, Humaidi Abas, Hamas Syahid, Asma Nadia, serta pendatang cilik, Amna Hasanah Shahab, sebagai Hayya.
Penulis: Veronica Dilla | Editor: Ceppy F. Bachtiar
Komentar