Nalar.ID

Tolak Lupa, Masyarakat Minang Praperadilan Film ‘Cinta Tapi Beda’

Jakarta, Nalar.ID – Polemik film Cinta Tapi Beda (2012) garapan sutradara Hanung Bramantyo, masih bergulir. Tim Advokasi dan Pembela Masyarakat Adat Minang, yang dipimpin oleh H. Zulhendri Hasan, kecewa atas dihentikannya penyidikan kasus film ini.
Kamis (15/11) lalu, mereka melakukan upaya hukum dengan menyambangi Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan. Mereka mendaftarkan permohonan praperadilan terkait penghentian penyidikan atau surat perintah penghentian penyidikan (SP3) oleh Bareskrim Polri. Pemohon atas nama Zulhendri Hasan, dengan nomor perkara 161/Pid.Pra/2018/PN JKT.SEL. Sementara, pihak termohon, ditujukan kepada Penyidik Tindak Pidana Umum Kasubdit I Tipidum Bareskrim Polri.
Diketahui, sesuai laporan polisi nomor LP/35/I/2013/Dit.Reskrimum, tanggal 7 Januari 2013, oleh Penyidik Dirtipidum Bareskrim Polri, pada 10 April 2014 telah dihentikan penyidikan dengan alasan kasus ini bukan merupakan tindak pidana.
Pihaknya kecewa penghentian penyidikan kasus dugaan pelecehan agama yang terkandung dalam cerita film tersebut. H. Zulhendri Hasan, sebagai pelapor, menilai dugaan tindak pidana yang ditayangkan dalam film itu bermula dari jalan cerita percintaan sepasang kekasih beda keyakinan atau agama.
Cahyo (Reza Nangin), pria Yogyakarta, yang lahir dari keluarga Muslim taat, menjalin kasih dengan Diana (Aghni Pratistha), gadis Katolik taat fanatik yang digambarkan dan diceritakan sebagai gadis Minang. Di film juga digambarkan, bagaimana sosok Diana, tak pernah lepas berkalung salib, hingga kesukaannya menyantap babi rica-rica.
Dua Unsur Bukti
Gambaran cerita ini, dianggap pelapor, mengusik rasa keagamaan masyarakat adat Minat, dengan menganut falsafah hidup adat bersandikan Syarak. “Artinya, Syarak, bersandikan Kitabullah, yang bermakna bahwa Al Quran adalah kitab suci orang Minang dan Islam agamanya,” kata Zulhendri, ditemui Nalar.ID, dikantornya, di Tendean Square, Kebayoran Baru, Jakarta, Jumat (16/11).
Terhadap laporan polisi tersebut, baik para saksi maupun bukti-bukti, termasuk kehadiran ahli pidana, seharusnya, kata Zulhendri, kasus ini telah memenuhi dua unsur alat bukti yang sah.
“Seharusnya penanganannya dilimpahkan ke kejaksaan untuk diuji kebenaran materiil di pengadilan negeri. Malah justru penyidik menghentikan laporan itu berdasarkan SP2HP tanggal 10 April 2014. Alasannya karena bukan tindak pidana,” jelasnya.
Atas penghentian ini, Zulhendri, mengaku hal ini merugikan kepentingan masyarakat adat Minang. “Praperadilan tidak mengenal batas waktu. Kami hanya mengkritisi prosedural penanganan penyidikan yang tak sesuai mekanisme hukum yang berlaku,” imbuhnya.
Lima tahun setelah laporan 2013 silam, mengapa tim pembela masyarakat adat Minang ini baru melayangkan gugatan praperadilan di 2018? “Ini momentum sangat tepat. Walaupun masalah ini terkait unsur SARA, ini sama sekali enggak ada hubungan dengan konstelasi politik 2019,” jawabnya.
Jawaban Pengadilan
Rencananya, sidang praperadilan akan digelar 14 hari setelah permohonan didaftarkan ke pengadilan. Senin (19/11), PN Jakarta Selatan telah menetapkan permohonan perkara disertai empat catatan. Pertama, mengabulkan permohonan pemohon seluruhnya. Kedua, menyatakan penghentian penyidikan oleh termohon adalah tidak sah dengan segala akibat hukumnya.
Ketiga, memerintahkan termohon untuk melanjutkan proses penyidikan atas LP Nomor 35/I/2013/Dit.Reskrimum, tanggal 7 Januari 2013. Empat, memerintahkan termohon untuk mengumumkan putusan ini dalam semua media massa di Indonesia. Terakhir, menghukum termohon untuk membayar segala biaya yang timbul dari perkara ini.
Hingga informasi ini diturunkan, Senin (19/11) malam, sutradara Hanung Bramantyo, belum bisa dimintai keterangan. Pesan singkat elektronik hingga sambungan telepon, juga tak terbalas.
Dalam keterangan kepada sejumlah media, Januari 2013 silam, Hanung, membantah sudah salah kaprah terkait penceritaan adat yang dimiliki suku Minang dalam film produksi Multivision Plus Pictures tersebut.
“Kami enggak menyebut suku Minang (di film ini), tapi tinggal di Padang. Enggak semua orang yang tinggal di Padang, kan beragama Islam,” sahut Hanung.
Kata Hanung, ada pihak yang sengaja memojokkan film buatannya ini. Menurutnya, ini upaya provokasi terhadap warga Minang. Ia menegaskan, di Padang, tak ada bioskop. “Sepertinya mereka belum menonton (jadi belum bisa menilai),” ungkapnya, saat itu.
Selain Tim Advokasi dan Pembela Masyarakat Adat Minang dan organisasi Ikatan Pemuda Pemudi Minang Indonesia (IPPMI), film ini sempat diprotes keras oleh Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI), lewat perwakilannya, M.Rafik.
Terima Asean Spirit Award
Namun, dibalik kontroversi kasusnya, film besutan sutradara Hanung dan Hestu Saputra ini pernah meraih penghargaan ‘Asean Spirit Award’ dalam ASEAN Internasional Film Festival & Awards (AIFFA), di Borneo Convention Centre Kuching, Sarawak, Malaysia, 30 Maret 2013.
Dalam ajang kompetisi film se-Asia Tenggara itu, film tersebut menggondol 5 penghargaan dari 19 kategori yang dinominasikan. Reza Nangin, pemeran Cahyo, termasuk di kategori Pemeran Utama Pria.
Saat masa penayangan perdana Desember 2012, film ini pernah bertengger di 54 bioskop di 23 kota di Tanah Air, dengan capaian sekitar 180 ribu penonton untuk 10 hari tayang.
Penulis: Ceppy F. Bachtiar | Editor: Ceppy F. Bachtiar

Komentar

Ikuti Kami

Kami nalar, punya alasan informasi tak ditelan mentah. Mari, sama-sama bernalar.

Nalar.ID | Cerdas Menginspirasi