Nalar.ID

Untung-Rugi Cuan Masker, Siapa Tanggung Jawab?

Temuan Komisi Pengawas Persaingan Usaha, banyak produsen masker dalam negeri tidak melanggar UU Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tak Sehat. Penelitian ini menyusul lonjakan harga masker di pasaran di tengah wabah virus Corona.

*****

Nalar.ID, Jakarta – Polah tingkah tujuh siswa Akuntansi SMK Pasundan 1 Cianjur, Jawa Barat mendadak viral belakangan ini. Ulah mereka viral usai foto dan videonya diunggah ke media sosial Instagram, Selasa (3/3/2020) lalu.

Aksi protes dan sindiran mereka ini terkait virus Corona. Topeng mainan dari kertas mereka kenakan karena langkanya stok masker plus tingginya harga seiring masuknya virus Corona di Tanah Air. Video tersebut telah ditonton lebih dari 10.000 pengguna media sosial dan dikomentari ratusan warganet.

Di kolom komentar, salah satu warganet mengaku merasa bernostalgia melihat topeng yang dipakai para siswa. “Nostalgia itu mah,” tulis akun @adin***aharan***.

Salah satu siswa, Muhammad Rizal (18), mengaku ide awal pembuatan masker mainan itu karena sulitnya mencari masker di apotek dan toko modern di daerahnya selama beberapa hari terakhir. Aksi mereka menyusul setelah sebelumnya, Senin (2/3/2020) lalu, Presiden Jokowi mengumumkan dua WNI positif virus Corona di Depok, Jawa Barat.

Rizal dan teman-temannya tak ada maksud lain dengan aksi ini. Ini mereka lakukan sebatas mencairkan suasana agar orang-orang tak panik menghadapi Corona. Ini juga bentuk sindiran ke pemerintah terkait minumnya stok dan tingginya harga masker.

Platform Nakal

Biasanya, harga masker tak lebih Rp 5.000 per lima masker. Kini melambung tinggi beberapa jam usai Jokowi mengumumkan. Dampak kepanikan masyarakat, masker pun sulit ditemukan di pasaran.

Selain masker, sebagian warga memburu cairan pembersih tangan (hand sanitizer). Imbasnya, harga kebutuhan pencegahan penyebaran virus corona meroket. Kalaupun tersedia, harga meroket berlipat ganda. Meroketnya harga masker turut terjadi di beberapa situs belanja online.

Beberapa platform e-commerce menjual masker lebih dari 10 kali lipat dari harga normal. Shopee, misalnya. Harga 1 box masker merek Sensi Mask dijual Rp 900.000. Satu box berisi 24 pack dengan isi total 144 lembar masker. Sementara di penjual online lain, merek sejenis dijual Rp 300.000 per box isi 50 lembar. Masih dengan masker merek Sensi bahkan dijual Rp 899.000 per box isi 50 lembar.

Harga di Bukalapak juga tak jauh berbeda. Merek Sensi dijual kisaran Rp450.000 – Rp500.000 per box isi 50 lembar. Padahal, biasanya, harga produk yang sama tak sampai Rp50 ribu per kotak.

Sementara jenis N95 relatif cukup mahal, di atas Rp 1 juta per box. Contoh, sekotak masker N95 jenis 3M 8210 dijual Rp 1,7 juta untuk isi 20 pcs. Bahkan penjual masker di e-commerce itu rata-rata sudah punya bintang lima. Artinya, reputasi mereka dikenal baik, alias bukan pedagang masker dadakan.

masker Corona - nalar.id
Dinas Kesehatan DKI Jakarta bekerja sama dengan Inner City Management (ICM), perusahaan konsultan pengelolaan properti, melakukan pengecekan dan sosialisasi mengenai virus Corona di Tower Apartemen Mediterania Garden Residences 2, Jakarta Barat, awal Februari lalu. NALAR/Dok.Fajar Indonesia Network

Bantahan Produsen
Dalam kesempatan terpisah, produsen membantah menaikkan harga masker. Direktur Eksekutif Asosiasi Produsen Alat Kesehatan Indonesia (Aspaki) Ahyahudin Sodri, menegaskan bahwa pabrikan masker di Indonesia tidak menaikkan harga.

Justru pihaknya prihatin harga masker di pasaran melonjak tajam. Pihaknya sepakat menghentikan ekspor dan fokus memenuhi permintaan masker dalam negeri.

“Sebagai produsen, kami prihatin kalau ada pihak yang ambil untung dari tingginya permintaan masker,” kata Ahyahudin.

Terlebih, saat polisi menyita penimbunan 350 kardus masker di Tanjung Duren, Jakarta Barat, Selasa (3/3/2020). Ahyahudin mengungkapkan, saat ini produsen alat kesehatan di Indonesia kewalahan memenuhi lonjakan permintaan masker. Opsi impor sulit dilakukan, mengingat masker di negara lain ikut mengalami kelangkaan.

Ada tujuh anggota Aspaki yang memproduksi masker. Praktis, permintaan masker meningkat satu setengah sampai dua kali lipat. Dijumpai di kantornya, Selasa (3/3/2020), Komisioner Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Guntur Saragih mengungkap hasil investigasi terkait kenaikan harga masker.

Penelitian 6 Wilayah

Penelitian ini dilakukan di area Jabodetabek hingga enam wilayah kerja kantor wilayah KPPU di Medan, Lampung, Bandung, Surabaya, Balikpapan, dan Makassar. Pihaknya juga sudah berkoordinasi dengan 28 produsen masker di dalam negeri.

KPPU menyatakan, saat ini hanya ada 28 produsen, 55 distributor, dan 22 importir masker yang terdaftar resmi di Kementerian Kesehatan. Hal ini menyikapi kelangkaan dan kenaikan harga masker di pasaran sejak awal Februari  hingga Maret 2020.

“Hasilnya, mereka masih menjual masker dengan harga standar. Kami juga periksa 55 distributor dan 22 importir masker, tidak ditemukan pelanggaran usaha. Sejauh ini belum ada pelaku yang melanggar. Tapi kami yakini ada beberapa wilayah kosong stok,” kata Guntur.

Pihaknya tak memungkiri ada beberapa penjual eceran yang menjual harga cukup tinggi. “Tapi aturan itu tidak berlaku bagi UMKM. Kenaikan harga tidak terjadi di produsen dan distributor,” katanya.

Sayangnya, kata Guntur, bila warga menemukan harga di lapisan penjual eceran tinggi, para penjual eceran tak dapat ditindak dengan UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tak Sehat.

Denda Rp25 Miliar

Kalaupun ada peningkatan harga di distributor dan produsen memang karena ada peningkatan permintaan yang tidak diimbangi dengan peningkatan produksi. Menurut Guntur, produsen yang mengerek harga tinggi bisa terancam denda sampai Rp25 miliar. Sebab, tindakannya tergolong monopoli dan kartel. Ini merujuk Pasal 1 UU Nomor 5 Tahun 1999.

Selain itu KPPU juga tak menemukan kenaikan harga signifikan dalam pertemuannya dengan para stakeholder produsen resmi masker, Kementerian Kesehatan, dan Kementerian Perindustrian.

Walau tak menampik ada lonjakan harga di level pengecer, Guntur menilai KPPU tak bisa memproses oknum yang menaikkan harga masker. Sebab, UU Nomor 5 Tahun 1999 tidak berlaku bagi pelaku usaha UMKM atau yang tergolong dalam usaha kecil. Artinya, pedagang e-commerce dan ritel yang tergolong pelaku usaha kecil dilindungi atau tak dapat dipidana dengan UU itu. Denda pelanggaran dalam UU itu berkisar Rp1 miliar hingga Rp25 miliar.

Menurutnya, tingginya harga disebabkan oleh kepanikan masyarakat yang berlebihan. “Meningkatnya permintaan, sementara supply tak bisa langsung memasok,” ujarnya.

Lapor Polisi

Walau demikian, kata Guntur, masyarakat dapat melaporkan oknum yang meresahkan kepada KPPU atau kepolisian. Untuk itu, KPPU mengimbau masyarakat agar tidak panik menghadapi pengumuman Jokowi pada 2 Maret 2020 lalu. KPPU berharap masyarakat teredukasi dengan baik dan bertindak cerdas dalam bertransaksi.

Terkait ini, pemerintah, melalui Kementerian Perdagangan menyatakan belum memberikan pembatasan harga masker yang beredar di pasaran. Menteri Perdagangan Agus Suparmanto juga meminta produsen masker mengurangi ekspor ke luar negeri dan memberi prioritas dalam pasokan dalam negeri.

Sebelumnya, Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Yusri Yunus menegaskan pihaknya akan menindak oknum-oknum yang sengaja menimbun masker. Kepolisian bakal mengawal dari sisi hukumnya.

Penulis: Febriansyah, Ceppy F. Bachtiar | Editor: Ceppy F. Bachtiar

Komentar

Ikuti Kami

Kami nalar, punya alasan informasi tak ditelan mentah. Mari, sama-sama bernalar.

Nalar.ID | Cerdas Menginspirasi